Menu

Jumat, 01 Januari 2016

Al Munasabah Dalam Al Qur'an (Part 1)



Segala puji hanya milik Allah semata yang telah menurunkan Al Qur’an kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang tidak ada kebohongan di dalamnya.
Belum ditemukan satu kitabpun dari kitab-kitab yang ada di muka bumi ini yang dijaga dan dipelihara dengan penuh perhatian dan semangat serta keikhlasan yang tinggi hingga sampai pada taraf pensucian dan pemuliaan seperti Kitab Al Qur’an Al Karim dalam bentuk hafalan, bacaan, kajian, pengajaran dan pelajaran, penjelasan serta penafsiran.
Hal ini dapat kita saksikan sejak generasi awal dari kalangan para sahabat Ridhwānul Lahi ‘Alaihim Ajma’în yang menukil secara langsung Al Qur’an dari sang Nabi tercinta Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  dengan menghafalkannya dari huruf ke huruf berikutnya, dari satu kata ke kata berikutnya, dari satu ayat ke ayat berikutnya, dari satu surah ke surah berikutnya, dari pertama diturunkannya hingga ia disempurnakan. Bahkan hingga dikumpulkannya dalam satu kitab pada kekhilafaan Abu Bakar al-Shiddiiq dan ‘Utsman Radhiyallāhu ‘Anhuma sebagai bukti akan janji Allah dalam firman-Nya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ﴿٩﴾


Terjemahannya:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. al-Hijr/15: 9)

Demikian pula dilanjutkan oleh para pengikut setia ummat ini, mereka terus mengikuti jejak para pendahulunya yang shalih dalam memelihara Al Qur’an tersebut dengan menghafal, mempelajari dan mengajarkan serta menafsirkannya. Sehingga kita mendapatkan betapa banyak kitab-kitab yang ditulis dan dicetak memenuhi perpustakaan-perpustakaan dengan berbagai klasifikasi dan karateristik Al Qur’an yang semakin menguatkan akan kecintaan dan keelokan Al Qur’an.
Tak dapat dipungkiri bahwa diantara hal yang mereka lakukan adalah dengan menjelaskan kemukjizatannya, dari sisi kefasihan dan sastra, hubungan antara lafal dengan makna, antara ayat dan surah Al Qur’an Al Hakim. Dan hubungan serta keterkaitan tersebut diistilahkan oleh para Ulama dengan “al-Munāsabah”. Para ulama tafsir telah memberikan perhatian besar akan hal tersebut, hingga menyusun berbagai kitab yang berjilid-jilid khusus untuk membahasnya. Sehingga sangat disyangkan ketika seorang muslim tidak memetik hikmah dan pelajaran dari usaha keras mereka dengan mempelajari dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Maka dalam makalah ini insya Allah kami akan membahas tentang Al-Munāsabah


       

A.Definisi Al-Munāsabah
Definisi al-Munāsabah  dapat diartikan kedalam dua sisi, yaitu secara etimologi dan secara terminologi
a.       Secara etimologi
Kata al-Munāsabah  berasal dari Bahasa Arab المناسبة yang bersinonim dengan kata المشاكلة (mirip)[1] dan المقاربة (kedekatan) misalnya bila kita katakan: tidak ada diantara keduanya al-Munāsabah ; yaitu tidaka ada kemiripan. Dasar ini dikemukakan oleh Ibnu Fāris dalam “Mu’jam”nya dengan mengatakan: (huruf al-Nun, al-Sin, dan al-Ba’ adalah satu kata yang berarti hubungan yang satu dengan sesuatu yang lain. Seperti kata Nasab dinamakan demikian karena adanya hubungan satu sama lain[2].
al-Zarkasyi mendefinisikan Al-Munāsabah  secara etimologi dengan kedekatan, fulan cocok dengan fulan yang lain, atau keduanya memiliki kedekatan dan kemiripan[3].
b.      Secara Terminologi
Al-Munāsabah  adalah hubungan antara dua hal dari sisi manapun yang terdapat dalam Kitabullah (Al Qur’an), yang terdiri dari hubungan antara surah sebelumnya dan setelahnya, demikian pula pada ayat-ayatnya, baik sebelumnya maupun sesudahnya[4].
al-Baqāi mendefinisikan al-Munāsabah  sebagai ilmu yang darinya diketahui sebab penetapan susunan surat-surat dan ayat-ayat Al Qur’an[5].                      
         B. Awal Mula Munculnya Ilmu Al-Munāsabah
Apabila telah diketahui bahwa susunan surat dan ayat dalam Al Qur’an adalah Tauqifiyyah (sesuai ketetapan Allah atau Rasul-Nya); maka kita akan meyakini bahwa tidaklah Allah mendahulukan surah yang satu dari surah yang lain, memulai suatu ayat dari sebuah surah, dan menutup suatu surah dengan suatu ayat kecuali karena adanya hubungan atau keterkaitan[6].
Awal mula ilmu al-Munāsabah  ini pada dasarnya telah diisyaratkan dalam hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam , seperti dalam perjalanan haji Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  ketika beliau telah mendekat ke bukit ṣafa beliau membaca:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللّهِ .......﴿١٥٨﴾
Terjemahannya: Sesungguhnya ṣafā dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah[7].
Lalu bersabda: saya mulai dari mana Allah mulai yaitu dari ṣafā[8]. Hal ini menunjukkan bagaimana Nabi memperhatikan al-Munāsabah  ayat tersebut yang dimulai[9] dari ṣafā maka beliau mulai Sa’inya dari ṣafā[10].
Bahkan sampai orang baduipun yang jauh dari ilmu dan Al Qur’an dapat merasakan hubungan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an, sebagaimana kisah yang disebutkan oleh al-Aṣma’i: pernah saya membaca surah al-Māidah dan di dekatku terdapat seorang badui,
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ ......﴿٣٨﴾
Terjemahannya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Saya salah sambung dengan membaca:
والله غفور رحيم
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Lalu saya perbaiki:
وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana[11].
Lalu ia berkata: Nah ini baru benar, sayapun bertanya kepadanya: dari mana kamu tahu? Ia menjawab: karena Allah itu Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana maka Ia memerintahkan untuk memotongnya, seandainya Ia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang niscaya Ia tidak memerintahkan untuk dipotong[12].
Pada tahapan berikutnya kita mendapatkan berbagai perkataan yang berhungan dengan al-Munāsabah  namun belum ditulis secara khusus dalam suatu kitab. Diantaranya misalnya:
Berkata ibnu al-‘Arabi Rahimahullah dalam kitabnya: Siraj al-Muridin : hubungan antara satu ayat Al Qur’an dengan ayat yang lain sampai menjadi seperti satu kalimat memiliki makna yang luas, tata bahasa yang terartur merupakan ilmu yang agung[13].
Selain itu Syaikh Abu al-Hasan al-Syahrabani juga yang mengatakan bahwa: yang pertama kali menampkkan ilmu al-Munāsabah  di Bagdad adalah Syaikh Abu Bakar al-Naisaburi (Wafat 324 H) yang belum pernah kami dengarkan sebelumnya[14].
Kemudian pada tahapan ketiga nampaklah penyusunan buku yang secara khusus berbicara tentang al-Munāsabah  pada seluruh surah Al Qur’an. Seperti: al-Tafsir al-Kabir yang disusun oleh al-Razi, kemudian bermunculan setelahnya kitab-kitab seperti Miftah al-bab al-Muqfal ‘ala fahm al-Qur’an al-Munazzal oleh Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Harali, yang darinyalah Al-Baqai menukil banyak faidah dalam kitabnya Nazhmu al-Durar, demikian pula Kitab al-Tahrir wa al-Tahbir li aqwal aimatti al-Tafsir fi ma’ani kalami al-sami’ al Bashir yang dikenal sebagai Tafsir al-Naqib yang terdiri dari 60 (enam puluh) jilid. Demikian pula kitab Al-Burhan fi tartib suwar Al Qur’an oleh Abu Jakfar Ahmad bin Ibrahim bin al-Zubair Al-Andalusi yang di dalamnya hanya menjelaskan hubungan surah dengan surah yang lain tanpa hubungan ayat yang satu dengan ayat yang lain. Kemudian terus berkembang hingga sekarang. Demikianlah asal mula munculnya ilmu al-Munāsabah  tersebut[15], Wallahu A’lam.


[1] Hużaifah Abud Mahdî, Al-Tanasub fi al-Quran al-Karim (2012) h.4. al-Rāzi, Mukhtār al-Shihāh (Cet. I; Beirut: Maktabah Libnan Nāsyirun, 1995), h. 354. Muhammad ibnu Mukrim, Lisanul arab (Cet.I; Beirut: Dār Shadir) h. 112
[2] Ahmad ibnu faris, Mu’jam maqayis al-Lughah
[3] Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 1 .
[4] Zahra Khalid, Baina ilmi al-Munāsabah wa al-Tafsir al-Maudhui li al-Qur’an al-Karim, h.72
[5] Umar al-Baqāi, Naẓmu al-durar fi tanāsub al-āyāt wa al-surah (Qāhirah: Dār al-Kitāb al-Irsyād), h.6.
[6] Muhammad ibnu Umar, al-Munāsabah. www.pdffactory.com (03 November 2015) h. 4 .
[7] QS al-Baqarah/2: 158
[8] Muslim ibnu al-Hajjāj, Shahih Muslim (Dār ihyā al-Turats al-Arabi, Beirut) h.886

[10] Muhammad ibnu Umar, al-Munāsabah, h. 2 .
[11] QS al-Maidah/5: 38.
[12] Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi (Juz 1) h. 57 .
[13] Al-Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum al-Qur’an (Maktabah Dār Turats, Qahirah), h. 36. Umar al-Baqāi, Naẓmu al-durar fi tanāsub al-āyāt wa al-surah (Qāhirah: Dār al-Kitāb al-Irsyād), h.6.  Al-Suyuthi, al-Itqān fi Ulum al-Qur’an (Qahirah) h.323
[14] Muhammad ibnu Umar, al-Munāsabah, h. 2 Al-Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum al-Qur’an (Maktabah Dār Turats, Qahirah), h. 36 Umar al-Baqāi, Naẓmu al-durar fi tanāsub al-āyāt wa al-surah,h.6.  Al-Suyuthi, al-Itqān fi Ulum al-Qur’an (Qahirah) h.323

[15] Muhammad ibnu Umar, al-Munāsabah, h. 9 .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar