Segala puji hanya milik Allah semata yang telah menurunkan Al Qur’an
kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang tidak ada kebohongan di
dalamnya.
Belum ditemukan satu kitabpun dari kitab-kitab yang ada di muka bumi ini
yang dijaga dan dipelihara dengan penuh perhatian dan semangat serta keikhlasan
yang tinggi hingga sampai pada taraf pensucian dan pemuliaan seperti Kitab
Al Qur’an Al Karim dalam bentuk hafalan, bacaan, kajian, pengajaran dan
pelajaran, penjelasan serta penafsiran.
Hal ini dapat kita saksikan sejak generasi awal dari kalangan para sahabat Ridhwānul Lahi ‘Alaihim Ajma’în yang
menukil secara langsung Al Qur’an dari sang Nabi tercinta Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dengan menghafalkannya dari
huruf ke huruf berikutnya, dari satu kata ke kata berikutnya, dari satu ayat ke
ayat berikutnya, dari satu surah ke surah berikutnya, dari pertama
diturunkannya hingga ia disempurnakan. Bahkan hingga dikumpulkannya dalam satu
kitab pada kekhilafaan Abu Bakar al-Shiddiiq dan ‘Utsman Radhiyallāhu
‘Anhuma sebagai bukti akan janji Allah dalam firman-Nya:
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ﴿٩﴾
Terjemahannya:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya. (QS.
al-Hijr/15: 9)
Demikian pula dilanjutkan oleh para pengikut setia ummat ini, mereka terus mengikuti jejak para pendahulunya yang shalih dalam memelihara Al Qur’an tersebut dengan menghafal, mempelajari dan mengajarkan serta menafsirkannya. Sehingga kita mendapatkan betapa banyak kitab-kitab yang ditulis dan dicetak memenuhi perpustakaan-perpustakaan dengan berbagai klasifikasi dan karateristik Al Qur’an yang semakin menguatkan akan kecintaan dan keelokan Al Qur’an.
Tak dapat dipungkiri bahwa diantara hal yang mereka lakukan adalah dengan
menjelaskan kemukjizatannya, dari sisi kefasihan dan sastra, hubungan antara
lafal dengan makna, antara ayat dan surah Al Qur’an Al Hakim. Dan hubungan
serta keterkaitan tersebut diistilahkan oleh para Ulama dengan “al-Munāsabah”.
Para ulama tafsir telah memberikan perhatian besar akan hal tersebut,
hingga menyusun berbagai kitab yang berjilid-jilid khusus untuk membahasnya. Sehingga sangat disyangkan
ketika seorang muslim tidak memetik hikmah dan pelajaran dari usaha keras
mereka dengan mempelajari dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Maka dalam makalah ini
insya Allah kami akan membahas tentang Al-Munāsabah
A.Definisi Al-Munāsabah
Definisi al-Munāsabah dapat diartikan kedalam dua sisi, yaitu secara etimologi dan secara terminologi
a.
Secara etimologi
Kata al-Munāsabah berasal dari Bahasa Arab المناسبة yang bersinonim
dengan kata المشاكلة
(mirip)[1] dan المقاربة
(kedekatan) misalnya bila kita katakan: tidak ada diantara keduanya al-Munāsabah
; yaitu tidaka ada kemiripan. Dasar ini dikemukakan oleh Ibnu Fāris dalam
“Mu’jam”nya dengan mengatakan: (huruf al-Nun, al-Sin, dan al-Ba’ adalah satu
kata yang berarti hubungan yang satu dengan sesuatu yang lain. Seperti kata
Nasab dinamakan demikian karena adanya hubungan satu sama lain[2].
al-Zarkasyi mendefinisikan Al-Munāsabah secara etimologi dengan kedekatan, fulan cocok
dengan fulan yang lain, atau keduanya memiliki kedekatan dan kemiripan[3].
b.
Secara Terminologi
Al-Munāsabah adalah hubungan antara dua hal dari sisi
manapun yang terdapat dalam Kitabullah (Al Qur’an), yang terdiri dari
hubungan antara surah sebelumnya dan setelahnya, demikian pula pada
ayat-ayatnya, baik sebelumnya maupun sesudahnya[4].
al-Baqāi mendefinisikan al-Munāsabah sebagai ilmu yang darinya diketahui sebab penetapan
susunan surat-surat dan ayat-ayat Al Qur’an[5].
B. Awal Mula Munculnya Ilmu Al-Munāsabah
Apabila telah diketahui bahwa susunan surat dan ayat
dalam Al Qur’an adalah Tauqifiyyah (sesuai ketetapan Allah atau
Rasul-Nya); maka kita akan meyakini bahwa tidaklah Allah mendahulukan surah
yang satu dari surah yang lain, memulai suatu ayat dari sebuah surah, dan
menutup suatu surah dengan suatu ayat kecuali karena adanya hubungan atau
keterkaitan[6].
Awal mula ilmu al-Munāsabah ini pada dasarnya telah diisyaratkan dalam
hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam , seperti dalam
perjalanan haji Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau telah mendekat ke bukit ṣafa
beliau membaca:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللّهِ
.......﴿١٥٨﴾
Terjemahannya: Sesungguhnya ṣafā dan Marwah adalah
sebahagian dari syi`ar Allah[7].
Lalu bersabda: saya mulai dari mana Allah mulai
yaitu dari ṣafā[8].
Hal ini menunjukkan bagaimana Nabi memperhatikan al-Munāsabah ayat tersebut yang dimulai[9] dari ṣafā
maka beliau mulai Sa’inya dari ṣafā[10].
Bahkan sampai orang baduipun yang jauh dari ilmu dan
Al Qur’an dapat merasakan hubungan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an,
sebagaimana kisah yang disebutkan oleh al-Aṣma’i: pernah saya membaca surah
al-Māidah dan di dekatku terdapat seorang badui,
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ
......﴿٣٨﴾
Terjemahannya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah.
Saya salah sambung dengan membaca:
“والله غفور رحيم”
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Lalu saya perbaiki:
وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana[11].
Lalu ia berkata: Nah ini baru benar, sayapun bertanya kepadanya: dari
mana kamu tahu? Ia menjawab: karena Allah itu Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
maka Ia memerintahkan untuk memotongnya, seandainya Ia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang niscaya Ia tidak memerintahkan untuk dipotong[12].
Pada tahapan berikutnya kita mendapatkan berbagai
perkataan yang berhungan dengan al-Munāsabah namun belum ditulis secara khusus dalam suatu
kitab. Diantaranya misalnya:
Berkata ibnu al-‘Arabi Rahimahullah dalam kitabnya: Siraj
al-Muridin : hubungan antara satu ayat Al Qur’an dengan ayat yang lain
sampai menjadi seperti satu kalimat memiliki makna yang luas, tata bahasa yang
terartur merupakan ilmu yang agung[13].
Selain itu Syaikh Abu al-Hasan al-Syahrabani juga
yang mengatakan bahwa: yang pertama kali menampkkan ilmu al-Munāsabah di Bagdad adalah Syaikh Abu Bakar al-Naisaburi
(Wafat 324 H) yang belum pernah kami dengarkan sebelumnya[14].
Kemudian pada tahapan ketiga nampaklah penyusunan
buku yang secara khusus berbicara tentang al-Munāsabah pada seluruh surah Al Qur’an. Seperti: al-Tafsir
al-Kabir yang disusun oleh al-Razi, kemudian bermunculan setelahnya
kitab-kitab seperti Miftah al-bab al-Muqfal ‘ala fahm al-Qur’an al-Munazzal oleh
Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Harali, yang darinyalah Al-Baqai menukil banyak
faidah dalam kitabnya Nazhmu al-Durar, demikian pula Kitab al-Tahrir
wa al-Tahbir li aqwal aimatti al-Tafsir fi ma’ani kalami al-sami’ al Bashir yang
dikenal sebagai Tafsir al-Naqib yang terdiri dari 60 (enam puluh) jilid.
Demikian pula kitab Al-Burhan fi tartib suwar Al Qur’an oleh Abu Jakfar
Ahmad bin Ibrahim bin al-Zubair Al-Andalusi yang di dalamnya hanya menjelaskan
hubungan surah dengan surah yang lain tanpa hubungan ayat yang satu dengan ayat
yang lain. Kemudian terus berkembang hingga sekarang. Demikianlah asal mula
munculnya ilmu al-Munāsabah tersebut[15],
Wallahu A’lam.
[1] Hużaifah Abud
Mahdî, Al-Tanasub fi al-Quran al-Karim (2012) h.4. al-Rāzi, Mukhtār al-Shihāh (Cet. I;
Beirut: Maktabah Libnan Nāsyirun, 1995), h. 354. Muhammad ibnu Mukrim, Lisanul arab (Cet.I; Beirut: Dār Shadir) h. 112
[2] Ahmad ibnu faris, Mu’jam maqayis al-Lughah
[3] Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 1 .
[5] Umar al-Baqāi, Naẓmu al-durar fi tanāsub al-āyāt wa al-surah (Qāhirah:
Dār al-Kitāb al-Irsyād), h.6.
[11] QS
al-Maidah/5: 38.
[12] Fakhruddin
al-Razi, Tafsir al-Razi (Juz 1) h. 57 .
[13] Al-Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum al-Qur’an (Maktabah
Dār Turats, Qahirah), h. 36. Umar al-Baqāi, Naẓmu
al-durar fi tanāsub al-āyāt wa al-surah (Qāhirah: Dār al-Kitāb al-Irsyād),
h.6. Al-Suyuthi, al-Itqān
fi Ulum al-Qur’an (Qahirah) h.323
[14] Muhammad ibnu Umar, al-Munāsabah, h. 2 Al-Zarkasyi, Al Burhan fi
Ulum al-Qur’an (Maktabah Dār Turats, Qahirah), h. 36 Umar al-Baqāi, Naẓmu
al-durar fi tanāsub al-āyāt wa al-surah,h.6. Al-Suyuthi, al-Itqān
fi Ulum al-Qur’an (Qahirah) h.323
Tidak ada komentar:
Posting Komentar