1.
Urgensi memelajari al-Munāsabah
Urgensi ilmu al-Munāsabah mengungkap satu sisi kemukjizatan Al-Quran,
yaitu keterkaitan diantara lafal-lafal, susunan, dan penjelasan tentang
hubungan antara ayat-ayat Al-Quran dan surah-surahnya.
Sungguh para ulama klasik telah memberi perhatian
yang besar pada ilmu ini, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar
al-Naisaburi yang mencela (menyedihkan) ulama Baghdad karena tidak mengetahui
ilmu al-Munāsabah .
Urgensi ilmu ini juga dijelaskan oleh ibnu al-‘Arabi
Rahimahullah dalam kitabnya: Siraj al-Muridin : hubungan antara satu
ayat Al Qur’an dengan ayat yang lain sampai menjadi seperti satu kalimat
memiliki makna yang luas, tata bahasa yang teratur merupakan ilmu yang agung[1]. Maka
beliau menyifati ilmu al-Munāsabah ini sebagai ilmu yang agung.
Imam al-Suyuthi Rahimahullah : Ilmu Al-Munāsabah
adalah ilmu yang mulia[3]
2.
Manfaat ilmu al-Munāsabah .
Ilmu al-Munāsabah memiliki faidah yang besar yang tidak dapat
dipungkiri oleh orang-orang berilmu, yaitu membantu seseorang dalam
menghasilkan Al-quran dengan baik dan memahaminya secara mendalam dan memeroleh
hubungan makna dan mukjizat Al-quran yang memiliki bahasa yang tinggi.
Berkata al-Zarkasyi, faidah ilmu al-Munāsabah menjadikan suatu perkataan yang saling
mengikat satu sama lain, sehingga terbentuk hubungan yang kuat[4].
al-Baqāi mengungkapkan bahwa ilmu al-Munāsabah memberi faidah dalam mengetahui maksud dari
seluruh naskah Al Qur’an[5].
Ustadz Nur al-Din menyebutkan faidah ilmu al-Munāsabah
sebagai berikut :
a.
Hubungan satu surah denga surah sebelum dan
setelahnya merupakan langkah yang penting dalam menafsirkan Al-quran dan
mengetahui maksud-maksudnya, sehingga memberi pemikiran yang jelas bagi seorang
ahli tafsir.
b.
Memudahkan seseorang untuk menyelesaikan masalah
dalam menafsirkan Al-quran dan semakin memperkuat keyakinannnya akan
kemukjizatan Al-quran dan sebagainya[6].
3. Bagaimana Hukum Mempelajari Al-Munāsabah ?
Telah dimaklumi bersama bahwa ilmu al-Munāsabah bukanlah Tauqifiyyah melainkan dasarnya
hanya berasal dari Ijtihad para Ahli Tafsir, maka para Ulama
Rahimahumullah berbeda pendapat dalam hukum menuntut ilmu al-Munāsabah tersebut, berikut perinciannya:
1.
Larangan menuntut ilmu al-Munāsabah
Tidak boleh menuntut ilmu al-Munāsabah karena hal tersebut menjatuhkan seseorang pada
perkataan tentang Allah tanpa ilmu, dan ayat-ayat Qur’an turun sesuai dengan
kondisi masyarakat Arab selama dua puluhan tahun, dengan hukum dan kejadian
yang berbeda-beda, tentu hal ini (setelah Al Qur’an disusun bukan lagi
sebagaimana susunan dan urutan ia diturunkan) tidak dapat menunjukkan hubungan
antara satu dengan yang lain.
Diantara ulama yang memilih pendapat ini ialah: Abdu
al-‘Aziz ibnu Abdi al-Salam[7],
demikian pula Imam Al-Syaukani[8]. Dan
Abu al-Ila Muhammad ibnu Ganim.
Bahkan Abu al-Ila Muhammad ibnu Ganim mengungkapkan
bahwa prinsip penyusunan Al Qur’an seluruhnya adalah al-Iqthidhab[9] (pembicaraan
yang berpindah dari satu masalah ke masalah yang lain tanpa harus ada
kesesuaian dan hubungan diantara keduanya)[10].
2.
Boleh menuntut ilmu al-Munāsabah
Sebagian ulama membolehkan ilmu al-Munāsabah ,
bahkan hingga sampai taraf membebani diri, tanpa ikatan dan kaidah
Mereka menjawab dasar bagi yang tidak membolehkan
dengan mengatakan: perkataan “Sesungguhnya Al Qur’an tidak diturunkan dengan
susunan seperti sekarang” adalah perkataan yang benar! Namun bukan berarti susunan ayat dan surah-surahnya
sekedar hasil Ijtihad tapi dia adalah Tauqifiyah berasala dari
tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam . Oleh karena itu
mempelajari al-Munāsabah tidaklah
bertentangan dengan diturunkannya Al Qur’an secara beransur-ansur dan
terpisah-pisah yang tak sesuai susunan mushaf.
Bila terdapat ayat atau surah secara lahiriahnya tidak memiliki hubungan,
bukan berarti menafikan pelajaran al-Munāsabah secara totalitas.
Berkata Syaikh Waliyullah al-Mulwi bahwa: “sungguh telah keliru orang
ynag mengatakan: tidak boleh mempelajari al-Munāsabah dari ayat-ayat Al Qur’an, karena ia diturunkan sesuai dengan kondisi yang berbeda-beda.
Pendapat yang benar adalah pendapat yang
membolehkan, dan ia termasuk ilmu yang baik, dengan syarat:
1.
Hendaknya al-Munāsabah tersebut memiliki kecocokan antara konteks
ayat dengan kesimpulan yang diperoleh.
2.
Hendaknya al-Munāsabah itu tidak bertentangan dengan syariat
3.
Hendaknya al-Munāsabah itu sesuai dengan tafsiran ayat, dan tidak
bertentangan dengannya.
4.
Hendaknya al-Munāsabah itu tidak bertentangan dengan kaidah Bahasa
Arab yang dengannyalah Al Qur’an diturunkan.
5.
Tidak boleh bagi seorang Ahli tafsir mengklaim
bahwa al-Munāsabah yang ditemukannya itu
adalah mutlak benar berdasarkan keinginan Allah dari ayat tersebut, tapi
bagaimana ia berkeyakinan bahwa itu adalah hasil dari ijtihadnya.
6.
Hendaknya ia memahami bahwa al-Munāsabah itu ada, meskipun tak harus nampak jelas
Pada kesimpulannya adalah al-Munāsabah itu boleh dengan syarat seperti syarat
bolehnya menafsirkan Al Qur’an dengan akal, yang mana keduanya memiliki
keterkaitan yang sangat erat[11]. Wallahu
A’lam
[1] Al-Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum al-Qur’an (Maktabah
Dār Turats, Qahirah), h. 36. Umar al-Baqāi, Naẓmu
al-durar fi tanāsub al-āyāt wa al-surah (Qāhirah: Dār al-Kitāb al-Irsyād),
h.6. Al-Suyuthi, al-Itqān
fi Ulum al-Qur’an (Qahirah) h.323
[2] Umar al-Baqāi, Naẓmu al-durar fi tanāsub al-āyāt wa al-surah (Qāhirah:
Dār al-Kitāb al-Irsyād) h.6.
[4] Al-Burhan, 1/136
[5] Umar al-Baqāi, Naẓmu al-durar fi tanāsub al-āyāt wa al-surah, h. 6.
[9] Jalaluddn Al
Quzuwaini, al-Idhah Fi Ulum al-Balaghah (Mauqi’ al-Warrāq) h. 133
Tidak ada komentar:
Posting Komentar