Menu

Jumat, 01 Januari 2016

Urgensi, Keutamaan dan Hukum Mempelajari Al-Munāsabah (Part 2)


       1.      Urgensi memelajari al-Munāsabah  
Urgensi ilmu al-Munāsabah  mengungkap satu sisi kemukjizatan Al-Quran, yaitu keterkaitan diantara lafal-lafal, susunan, dan penjelasan tentang hubungan antara ayat-ayat Al-Quran dan surah-surahnya.
Sungguh para ulama klasik telah memberi perhatian yang besar pada ilmu ini, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Naisaburi yang mencela (menyedihkan) ulama Baghdad karena tidak mengetahui ilmu al-Munāsabah .
Urgensi ilmu ini juga dijelaskan oleh ibnu al-‘Arabi Rahimahullah dalam kitabnya: Siraj al-Muridin : hubungan antara satu ayat Al Qur’an dengan ayat yang lain sampai menjadi seperti satu kalimat memiliki makna yang luas, tata bahasa yang teratur merupakan ilmu yang agung[1]. Maka beliau menyifati ilmu al-Munāsabah   ini sebagai ilmu yang agung.
al-Baqāi mengungkapkan bahwa ilmu al-Munāsabah  itu merupakan ilmu yang darinya diketahui sebab penetapan susunan surat-surat dan ayat-ayat Al Qur’an, yaitu rahasia keindahan bahasa, menghubungkan antara kandungan makna ayat-ayatnya dengan kehidupan sehari-hari[2].
Imam al-Suyuthi Rahimahullah : Ilmu Al-Munāsabah  adalah ilmu yang mulia[3]
2.      Manfaat ilmu al-Munāsabah .
Ilmu al-Munāsabah   memiliki faidah yang besar yang tidak dapat dipungkiri oleh orang-orang berilmu, yaitu membantu seseorang dalam menghasilkan Al-quran dengan baik dan memahaminya secara mendalam dan memeroleh hubungan makna dan mukjizat Al-quran yang memiliki bahasa yang tinggi.
Berkata al-Zarkasyi, faidah ilmu al-Munāsabah  menjadikan suatu perkataan yang saling mengikat satu sama lain, sehingga terbentuk hubungan yang kuat[4].
al-Baqāi mengungkapkan bahwa ilmu al-Munāsabah  memberi faidah dalam mengetahui maksud dari seluruh naskah Al Qur’an[5].
Ustadz Nur al-Din menyebutkan faidah ilmu al-Munāsabah  sebagai berikut :
a.     Hubungan satu surah denga surah sebelum dan setelahnya merupakan langkah yang penting dalam menafsirkan Al-quran dan mengetahui maksud-maksudnya, sehingga memberi pemikiran yang jelas bagi seorang ahli tafsir.
b.    Memudahkan seseorang untuk menyelesaikan masalah dalam menafsirkan Al-quran dan semakin memperkuat keyakinannnya akan kemukjizatan Al-quran dan sebagainya[6].                                                                                                                                                                  
          3. Bagaimana Hukum Mempelajari  Al-Munāsabah ?
Telah dimaklumi bersama bahwa ilmu al-Munāsabah  bukanlah Tauqifiyyah melainkan dasarnya hanya berasal dari Ijtihad para Ahli Tafsir, maka para Ulama Rahimahumullah berbeda pendapat dalam hukum menuntut ilmu al-Munāsabah  tersebut, berikut perinciannya:
1.      Larangan menuntut ilmu al-Munāsabah
Tidak boleh menuntut ilmu al-Munāsabah  karena hal tersebut menjatuhkan seseorang pada perkataan tentang Allah tanpa ilmu, dan ayat-ayat Qur’an turun sesuai dengan kondisi masyarakat Arab selama dua puluhan tahun, dengan hukum dan kejadian yang berbeda-beda, tentu hal ini (setelah Al Qur’an disusun bukan lagi sebagaimana susunan dan urutan ia diturunkan) tidak dapat menunjukkan hubungan antara satu dengan yang lain.
Diantara ulama yang memilih pendapat ini ialah: Abdu al-‘Aziz ibnu Abdi al-Salam[7], demikian pula Imam Al-Syaukani[8]. Dan Abu al-Ila Muhammad ibnu Ganim.
Bahkan Abu al-Ila Muhammad ibnu Ganim mengungkapkan bahwa prinsip penyusunan Al Qur’an seluruhnya adalah al-Iqthidhab[9] (pembicaraan yang berpindah dari satu masalah ke masalah yang lain tanpa harus ada kesesuaian dan hubungan diantara keduanya)[10].
2.      Boleh menuntut ilmu al-Munāsabah
Sebagian ulama membolehkan ilmu al-Munāsabah , bahkan hingga sampai taraf membebani diri, tanpa ikatan dan kaidah
Mereka menjawab dasar bagi yang tidak membolehkan dengan mengatakan: perkataan “Sesungguhnya Al Qur’an tidak diturunkan dengan susunan seperti sekarang” adalah perkataan yang benar! Namun bukan berarti susunan ayat dan surah-surahnya sekedar hasil Ijtihad tapi dia adalah Tauqifiyah berasala dari tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam . Oleh karena itu mempelajari al-Munāsabah  tidaklah bertentangan dengan diturunkannya Al Qur’an secara beransur-ansur dan terpisah-pisah yang tak sesuai susunan mushaf.
Bila terdapat ayat atau surah secara lahiriahnya tidak memiliki hubungan, bukan berarti menafikan pelajaran al-Munāsabah  secara totalitas. 
Berkata Syaikh Waliyullah al-Mulwi bahwa: “sungguh telah keliru orang ynag mengatakan: tidak boleh mempelajari al-Munāsabah  dari ayat-ayat Al Qur’an, karena ia diturunkan sesuai dengan kondisi yang berbeda-beda.
Pendapat yang benar adalah pendapat yang membolehkan, dan ia termasuk ilmu yang baik, dengan syarat:
1.    Hendaknya al-Munāsabah  tersebut memiliki kecocokan antara konteks ayat dengan kesimpulan yang diperoleh.
2.    Hendaknya al-Munāsabah  itu tidak bertentangan dengan syariat
3.    Hendaknya al-Munāsabah  itu sesuai dengan tafsiran ayat, dan tidak bertentangan dengannya.
4.    Hendaknya al-Munāsabah  itu tidak bertentangan dengan kaidah Bahasa Arab yang dengannyalah Al Qur’an diturunkan.
5.    Tidak boleh bagi seorang Ahli tafsir mengklaim bahwa al-Munāsabah  yang ditemukannya itu adalah mutlak benar berdasarkan keinginan Allah dari ayat tersebut, tapi bagaimana ia berkeyakinan bahwa itu adalah hasil dari ijtihadnya.
6.    Hendaknya ia memahami bahwa al-Munāsabah  itu ada, meskipun tak harus nampak jelas
Pada kesimpulannya adalah al-Munāsabah  itu boleh dengan syarat seperti syarat bolehnya menafsirkan Al Qur’an dengan akal, yang mana keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat[11]. Wallahu A’lam


[1] Al-Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum al-Qur’an (Maktabah Dār Turats, Qahirah), h. 36. Umar al-Baqāi, Naẓmu al-durar fi tanāsub al-āyāt wa al-surah (Qāhirah: Dār al-Kitāb al-Irsyād), h.6.  Al-Suyuthi, al-Itqān fi Ulum al-Qur’an (Qahirah) h.323
[2] Umar al-Baqāi, Naẓmu al-durar fi tanāsub al-āyāt wa al-surah (Qāhirah: Dār al-Kitāb al-Irsyād) h.6.
[3] Ahmad ibnu Ibrahim, al-Burhanu fi tartibi suwar Al Qur’an (Makkah: 1990) H. 71 .
[4] Al-Burhan, 1/136
[5] Umar al-Baqāi, Naẓmu al-durar fi tanāsub al-āyāt wa al-surah, h. 6.
[6] Al-Tanasub fi Al-quran Al-karim, H. 6.
[7] Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 1.
[8] Lihat Ibnu Hajar, Fathul Bari (Mauqi’ al-Islam) h. 72.
[9] Jalaluddn Al Quzuwaini, al-Idhah Fi Ulum al-Balaghah (Mauqi’ al-Warrāq) h. 133
[10] Muhammad ibnu Umar, al-Munāsabah, h. 34.
[11] Muhammad ibnu Umar, al-Munāsabah, h. 39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar