Menu

Rabu, 05 Januari 2011

HUKUM SHALAT BERJAMAAH

Fungsi & fadhilah shalat berjama’ah yang dijelaskan oleh Rasulullah ,merupakan suatu jaminan yang pasti akan diperoleh oleh pelakunya sela-ma dia melaksanakannya sesuai dengan tuntunan Rasulullah , semoga fadhilah-fadhilah tersebut memantapkan keyakinan dan menguatkan semangat kita untuk selalu melaksanakannya secara maksimal, namun terkadang kita masih mendapatkan kaum muslimin yang masih bermalas ma-lasan untuk melaksanakan shalat berja-ma’ah hal ini dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang hukum shalat berjama’ah itu sendiri.
Hukum Shalat Berjama’ah
Para fuqaha (ahli fiqh) antara lain dari kalangan Madzhab Maliki, Syafi’i, dan sebagian Madzhab Hanafiyah berpanda-ngan bahwa hukum shalat berjama’ah adalah sunnah muakkadah ada pula sebagi-an fuqaha mengatakan hukumnya wajib kifayah begitulah pendapat kedua dari mazhab Syafi’i sedangkan fuqaha lainnya lagi mengatakan wajib ‘ain, demikianlah pandangan Atha, Al-Auza’i, Abu Tsaur dan umumnya tokoh madzhab Hambali dan Zhohiri. Pendapat ketiga inilah yang
paling kuat, berdasarkan banyaknya riwa-yat yang shahih tentang kewajiban shalat berjama’ah bagi setiap muslim yang terlepas dari udzur. Adapun dalil-dalinya adalah :
Dalil Dari Al-Qur’an
1. Perintah Allah  untuk melakukan ruku’ bersama orang-orang yang ruku’, Firman Allah  :
 وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ  البقرة : 43
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku” (QS. Al Baqarah :43)
Konteks ayat “Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’, mengisyaratkan wajib-nya shalat berjama’ah sebab jika dikata-kan ayat diatas hanya menunjukkan pe-rintah shalat maka lafadz “Wa aqimush shalah” (Dirikanlah shalat) itu sudah cukup.
Berkata Al Hafizh Ibnul Jauzi رحمه الله ketika menafsirkan ayat ini : “Yaitu sha-latlah bersama-sama orang yang shalat“ (Lihat Zaadul Masiir 1:75)
Ibnu Katsir رحمه الله mengatakan “Dan ba-nyak para ulama yang menjadikan ayat ini sebagai dalil diwajibkannya shalat berjama’ah”.(Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1:85)
Jika dikatakan bahwa perintah “Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’, juga telah dikatakan kepada Maryam padahal sebagaimana yang diketahui bahwa wani-ta tidak wajib shalat berjama’ah. Allah  berfirman:
 يَامَرْيــَمُ اقْنُتِي لِرَبــِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ  آل عمران :43
"Hai Maryam, ta`atlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku`lah bersama orang-orang yang ruku”. (Ali Imran : 43)
Maka kita katakan bahwa ayat ini tidak mewajibkan atas wanita umumnya akan tetapi perintah tersebut dikhususkan untuk Maryam, karena ibu beliau pernah bernadzar untuk menjadikannya hamba yang selalu tunduk dan patuh kepada Allah  dan untuk beribadah kepada-Nya serta mengabdi dan memakmurkan mas-jid, sedangkan wanita selain beliau lebih utama melaksanakan shalat di rumah mereka masing-masing, hal ini berdasar-kan sabda Rasulullah  :
 صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي اْلمَسْجِدِ  رواه حاكم
“Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada shalatnya di masjid” (HR. Hakim)
2. Perintah untuk melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan takut.
Perintah untuk melaksanakan shalat ber-jama’ah bukan hanya diperintahkan keti-
ka dalam keadaan tenang/ damai bahkan hal ini juga diperintahkan ketika dalam keadaan takut, hal ini berdasarkan firman Allah  yang artinya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyan-dang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka`at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyan-dang senjata”. (QS. Annisa : 102)
Telah disebutkan di atas bahwa "..dan hendaklah datang segolongan kedua yang belum shalat, lalu bershalatlah bersamamu...". Ini adalah dalil bahwa shalat berjama’ah adalah fardhu 'ain, bukan fardu kifayah, ataupun sunnah. Jika hukumnya fardhu kifayah, pastilah gugur kewajiban berja-ma’ah bagi kelompok kedua karena telah ditunaikan oleh kelompok pertama. Dan jika hukumnya adalah sunnah, pastilah ala-san yang paling utama untuk meninggal-kan shalat berjama’ah adalah karena takut.
Kalau saja Allah  tetap mewajibkan untuk shalat berjama’ah dalam keadaan takut/ perang maka tentunya dalam situasi tenang dan aman hukumnya akan lebih wajib.
3. Firman Allah  :
 يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلاَ يَسْتَطِيعُونَ  خَاشِعَةً أَبـْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَالقلم:42-43
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka di-panggil untuk bersujud; maka mereka tidak kua-
sa,  (dalam keadaan) pandangan mereka tun-duk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keada-an sejahtera.” (QS.Al-Qalam 42-43)
Berkata Said bin Musayyib رحمه الله ketika menafsirkan ayat di atas : “Mereka adalah orang-orang yang mendengarkan hayya ‘alashshalah hayya ‘alal falah namun me-reka tidak memenuhi panggilan tersebut”
Berkata Ka’ab bin Al-Ahbar رحمه الله berkata “Demi Allah tidaklah ayat ini diturunkan kecuali sebagai peringatan dan ancaman bagi orang-orang yang meninggalkan sha-lat berjama’ah”
Dalil Dari As-Sunnah
1. Perintah Rasulullah  untuk melak-sanakan shalat berjama’ah, Rasulullah  bersabda :
 فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُـؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمـَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ  رواه البخاري و مسلم
“…Apabila telah datang waktu shalat maka azanlah untuk kalian salah seorang dari kalian dan hendaklah menjadi imam orang yang paling tua diantara kalian” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan hal yang memperkuat wajibnya me-laksanakan shalat secara berjama’ah adalah perintah Rasulullah  untuk melaksana-kannya bagi musafir walaupun hanya dua orang saja. Rasulullah  bersabda :
 إِذَا أَنــْتُمَا خَرَجْتُمَا فَأَذِّنـــَا ثُمَّ أَقِيمَا ثُمَّ لِيَؤُمـَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا رواه البخاري
“Apabila kalian berdua keluar (musafir) maka adzanlah kemudian iqamahlah lalu hendaklah menjadi imam diantara kalian yang tertua” (HR. Bukhari)
2. Larangan keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan
Rasulullah  bersabda :
 إِذَا كُنـــْتُمْ فِي الْمـــَسْجِدِ فَنــُودِيَ بِالصَّلاَةِ فَلاَ يَخْرُجْ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُصَلِّيَ  رواه أحمد
“Apabila kalian berada di dalam masjid kemu-dian dikumandangkan adzan untuk shalat maka janganlah salah seorang dari kalian keluar (dari masjid) hingga ia melaksanakan shalat” (HSR. Ahmad)
Oleh sebab itu Abu Hurairah  menghu-kumi orang yang keluar dari masjid sete-lah adzan sebagai orang yang telah bermaksiat terhadap Rasulullah . Diriwayatkan oleh imam Muslim dari Abu Sya’tsa’ beliau berkata : “Kami duduk-duduk di dalam masjid bersama Abu Hurairah  lalu dikumandangkan adzan maka berdirilah seorang laki-laki lalu berjalan kemudian Abu Hurairah  mengikutinya dengan pandangan hingga keluar masjid lalu berkata : “Adapun orang ini maka ia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Rasulullah) ” (R. Muslim)
3. Tidak adanya keringanan dari Rasulullah  untuk meninggalkan sha-lat berjama’ah.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Ummi Maktum  pernah bertanya kepada Rasululllah :
يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ شَاسِعُ الدَّارِ وَلِي قَائِدٌ لاَ يُلاَئِمُنِي فَهـَلْ لِي رُخْصَةٌ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَـيْتِي قَالَ :  هَلْ تَسْمَعُ النـِّدَاءَ  قَالَ نَعَمْ قَالَ:  لاَ أَجِدُ لَكَ رُخْصَة ً  رواه أبو داود
“Wahai Rasulullah ! Saya adalah orang yang buta, rumah saya jauh (dari masjid), dan saya tidak mempunyai penuntun yang selalu menun-tun saya (ke masjid) Apakah saya mendapatkan keringanan untuk shalat (fardhu) di rumah ? Bersabda Rasulullah  : “Apakah kamu mende-ngarkan adzan ?”, beliau menjawab “Ya”, lalu Rasulullah  bersabda : “Saya tidak mendapat-kan keringanan untukmu" (HSR. Abu Daud)
Di dalam hadits di atas Rasulullah  tidak memberikan keringanan kepada Ibnu Ummi Maktum  untuk shalat fardhu di rumahnya (tidak berjama’ah) kendati ada alasan, diantaranya karena beliau orang yang buta, rumahnya jauh dari masjid dan tidak mempunyai penuntun yang selalu menuntunnya menuju ke masjid, dan diri-wayat lain disebutkan bahwa beliau telah lanjut usia, banyak hewan-hewan buas yang berkeliaran di sekitar kota Madinah dan adanya pohon-pohon kurma dan pohon-pohon lainnya yang ada diantara rumah beliau dan masjid.
4. Keinginan Rasulullah  membakar rumah orang-orang yang tidak melak-sanakan shalat berjama’ah
Rasulullah  bersabda :
 لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ فِتْيَـتِي فَيَجْمَعُوا حُزَمًا مِنْ حَطَبٍ ثُمَّ أَاتِيَ قَوْمًا يُصَلُّونَ فِي بُيُوتِهِمْ لَيـْسَتْ بِهِمْ عِلَّةٌ فَأُحَرِّقَهـَا عَلَيـْهِمْ  رواه أبو داود
“Sungguh aku ingin memerintahkan anak-anak muda untuk mengumpulkan ikatan kayu bakar kemudian saya mendatangi sekelompok kaum
yang shalat di rumah-rumah mereka (masing-masing) tanpa ada udzur lalu aku membakar rumah mereka” (HSR. Abu Daud)
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar رحمه الله : “Adapun hadits yang terdapat dalam bab ini maka nampak bahwa shalat berja-ma’ah hukumnya fardhu ‘ain sebab seandainya hukumnya sunnah niscaya orang yang meninggalkannya tidaklah diancam bakar dan seandainya hukum-nya adalah fardhu kifayah niscaya shalat yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah  bersama shahabatnya telah cukup” (Lihat Fathul Baari 2:125-126)
Perkataan Salafus Shalih
Berkata Abdullah bin Mas’ud رحمه الله : “Barang siapa yang mendengar panggilan shalat (adzan) kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut tanpa adanya alasan syar’i, maka tidak ada shalat baginya”.
Semoga Allah  memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada selu-ruh kaum muslimin.
-Abu Muhammad Muhammad Salim Ahmad-

Maraji’ : Ahammiyatu Shalatil Jama’ah, Dr. Fadhlu Ilahi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar