Menu

Selasa, 18 Desember 2018

FILSAFAT SEIOMATIKA



   MENAFSIR SYSTEM TANDA DALAM PESAN-PESAN TEKS AGAMA


Seiomatika menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signitied). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu yaitu artinya. Sistem pembacaan seiomatika sangat menarik jika diimplementasikan dalam ilmu Islam, dimana Seiomatika percaya bahwa tidak ada sebuah ungkapan atau karya pun yang kosong dari dimensi intertekstual ini. Ruang tekstual adalah sebuah ruang tiga dimensi atau kordinat yang abstrak, yang di dalamnya terjadi dialog antara subjek penulis, pembaca dan teks-teks lain yang berasal dari luar (eksterior) sebuah teks[1].

Sebagaimana dipahami oleh para ahli seiomatika, bahwa terdapat dua tradisi yang besar yang mengikuti pandangan dua filsuf besar yaitu filsuf bahasa Ferdinan de Saussure yang merupakan bapak linguistik modern dan Charles Sanders Peirce yang memiliki latar belakang filsafat pragmatisme, logika dan bahasa. Seiomatika yang mengikuti tradisi Saussure lebih dikenal dengan istilah semiologi, sedangkan Tradisi Peirce dipopulerkan dengan istilah seiomatika. Padangan filsafat Saussure tentang bahasa menyebutkan bahwa hakikat bahasa adalah merupakan suatu tanda, oleh karena itu bahasa merupakan sarana komunikasi manusia maka bahasa juga sebagai sistem tanda dalam komunikasi manusia.
Jika bahasa sebagai sistem tanda dalam komunikasi sosial manusia maka implisit dalam pengertian tersebut terdapat sebuah relasi, bahwa bila tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, maka tanda juga merupakan bagian dari aturan-aturan dalam kehidupan sosial yang berlaku. Oleh karena itu dalam seiomatika terdapat pengertian sistem tanda (sign system) dan sistem sosial (social system) yang kedua-duanya saling berhubungan. Saussure tidak mengakui bahwa bahasa memiliki keteraturan secara alamiah, melainkan dalam bahasa terdapat konvensi sosial (social convention), dan bahasa adalah sebagai convensi arbitrer[2].
Namun pada kenyataannya, bahwa seiomatika pada kenyataannya dapat memberikan sumbangan yang cukup kaya dalam upaya menyoroti fenomena-fenomena keilmuan, khususnya ilmu-ilmu agama maka dibuatlah makalah filsafat seiomatika menafsir sistem tanda


[1] Abdul Halik, Filsafat Semiotika: Menafsir Sistem Tanda dalam Pesan-Pesan al-Qur'an .Al-Fikr. Volume 17 Nomor 3 Tahun 2013

[2] Drs. H. Muzairi, MA. Kontribusi Semiotika Terhadap Studi Ilmu-Ilmu Agama. Laporan Penelitian Individual Boptn.  Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga; Yogyakarta. 2013

A.     Defenisi seiomatika
Kata Seiomatika berasal dari bahasa Yunani, semeion, yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir tanda”. Seiomatika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api. Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri[1].
Kata seiomatika dan semiologi adalah istilah yang ada dalam sejarah linguistic, selain kedua istilah ini ada pula digunakan istilah lain seperti semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk kepada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambing.[2]
Sesungguhnya kedua istilah ini,  seiomatika dan semiologi, mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya: mereka yang bergabung dengan Pierce atau mengacu pada tradisi Amerika menggunakan kata   seiomatika, dan mereka yang bergabung Saussure atau mengacu pada tradisi Eropa menggunakan kata semiologi. Namun yang terakhir, jika dibandingkan dengan yang pertama, kian jarang dipakai, ada kecendrungan istilah seiomatika lebih populer dari istilah semiologi sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya.[3]
Pada dasarnya, semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan dalam istilah seiomatika sebagai suatu hubungan antara lima istilah:
S ( s, i, e, r, c )
S adalah untuk  semiotic relation (hubungan semiotic), s untuk sign ( tanda); I untuk interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh, r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (konteks) atau conditions (kondisi). Begitulah, seiomatika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang menyertainya.[4]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa studi seiomatika disusun dalam tiga poros.[5] Poros horizontal menyajikan tiga jenis penyelidikan seiomatika (murni, deskriptif, dan terapan); poros vertical menyajikan tiga tataran hubungan semiotic (sintaktik, semantic, dan pragmatic); dan poros yang menyajikan tiga kategori sarana informasi (signals, signs, dan symbols)[6]
Seiomatika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena social atau masyarakat dan kebudayaannya merupakan tanda-tanda. Artinya, seiomatika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.[7] Dengan kata lain, seiomatika mempelajari relasi di antara komponen-komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya.
Ada beberapa elemen dasar dalam kajian seiomatika di antaranya; (i) komponen tanda, (ii) aksis tanda, (iii) tingkatan tanda, dan (iv) relasi antar tanda.
1. Komponen Tanda
Dalam perkembangannya, seiomatika menganut dikotomi bahasa yang dikembangkan Saussure, yaitu tanda (sign) memiliki hubungan antara penanda (signifiant/signifier) dan petanda (signifie/signified).  Penanda adalah aspek material, seperti suara, huruf, bentuk, gambar, dan gerak, sedangkan petanda adalah aspek mental atau konseptual yang ditunjuk oleh aspek material. Kedua aspek ini, yaitu penanda dan petanda kemudian disebut komponen tanda. Sehingga keberadaan dua unsur ini tidak bisa dipisahkan, dan pemisahan hanya akan mengaburkan pengertian kata (tanda) itu sendiri.
Dalam pandangan Saussure, tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide, atau petanda. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa, apa yang dikatakan atau didengar, dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa.[8]
2. Aksis Tanda
Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lain di dalam sebuah sistem. Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar ini melibatkan apa yang disebut aturan pengkombinasian yang terdiri dari dua aksis tanda, yaitu aksis sintagmatik dan aksis paradigmatik.
Aksis sintagmatik adalah sebuah relasi yang merujuk kepada hubungan in praesentia di antara satu kata dengan kata-kata yang lain, atau antara satuan gramatikal dengan satuan gramatikal yang lain di dalam ujaran atau tindak tutur (speech act).
Aksis sintagmatik ini berkebalikan dengan relasi asosiatif, yang di dalam linguistik pasca Saussure disebut sebagai aksis paradigmatik. Di dalam relasi ini setiap tanda berada di dalam kodenya sebagai bagian dari suatu paradigma, suatu sistem relasi in absentia yang mengaitkan tanda-tanda tersebut dengan tanda-tanda lain sebelum ia muncul dalam tuturan.[9]
3. Tingkatan Tanda
Salah satu area penting yang dirambah Roland Barthes dalam studinya tentang tanda adalah tingkatan tanda, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti.
Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna-makna lapis kedua yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga, ia mengkonotasikan kasih sayang. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, inilah yang disebut makna konotatif.[10]
4. Relasi Antar Tanda
Selain kombinasi tanda, analisis seiomatika juga berupaya mengungkap interaksi di antara tanda-tanda. Meskipun bentuk interaksi antara tanda-tanda ini sangat luas, akan tetapi ada dua bentuk interaksi utama yang dikenal, yaitu metafora dan metonimi.
Metafora adalah sebuah model interaksi tanda, yang di dalamnya sebuah tanda dari sebuah sistem digunakan untuk menjelaskan makna untuk sebuah sistem yang lainnya. Misalnya penggunaan metafora “kepala batu” untuk menjelaskan seseorang yang tidak mau diubah pikirannya.
Metonimi adalah interaksi tanda, yang di dalamnya sebuah tanda diasosiasikan dengan tanda lain, yang di dalamnya juga terdapat hubungan bagian dengan keseluruhan. Misalnya, tanda “botol” (bagian) untuk mewakili pemabuk (total), atau, tanda “mahkota” untuk mewakili konsep tentang kerajaan.[11]
B.     Pokok dan Tokoh Seiomatika
Pragmatisme Charles Sanders Pierce
Ia adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multidimensional, seorang pemikir yang argumentative. Namun ironisnya, di tengah-tengah kehidupan masyarakat, teman-temannya membiarkan dia hidup dalam kesusahan sampai meninggalnya, tahun 1914. Ia diperbolehkan menjadi lector di suatu Universitas hanya lima tahun. Setelah itu Pierce diberhentikan. Barangkali karena Pierce, seperti dituturkan Cobley dan Jansz, tidak dapat menjadi contoh dari gaya hidup akademik yang santun, lingkungan tempat dia secara bertahap mengonstruksi ‘Seiomatika”-nya. “Sifat pemarah dan sulit diatur itu diduga karena penyakit sarafnya yang sering kambuh dan kerusakan kulir di sekitar wajah yang agak parah,”[12]
Pierce lahir dalam keluarga intelektual pada tahun 1839 (ayahnya, Benjamin adalah seorang professor matematika di Harvard). Pada tahun 1859, 1862, dan 1863 secara berturut-turut ia menerima gelar B.A., M.A., dan B.Sc. dari Universitas Harvard. Selama lebih dari tiga puluh tahun (1859-1860, 1861-1891) Pierce banyak melaksanakan tugas astronomi dan geodesi untuk Survei Pantai Amerika Serikat. Dari tahun 1879-1884, ia menjadi dosen paruh waktu dalam bidang logika di Universitas Johns Hopkins.
Pierce terkenal karena teori tandanya. Di dalam lingkup seiomatika, seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon, index, dan symbol. Dan dia juga membaginya menjadi sepuluh jenis: Qualisign, Iconic Sinsign, Rhematic Indexical Sinsign, Dicent Sinsign, Iconic Legisign, Rhematic Indexical Legisign, Dicent Indexical Legisign, Rhematic Symbol, Dicent Simbol, dan Argument. [13]
Teori ini secara sederhaanya dapat dilihat pada gamba dan rumus berikut:

Text
Makna
Tanda
 


Sign
                         Signifier                  Penanda                Realitas
                         Signified                 Petanda                 Cinta Akustik


Teori Tanda Ferdinand De Saussure
Dilahirkan di Jenewa pada tahun 1857 dalam sebuah keluarga yang sangat terkenal di kota itu karena keberhasilan mereka dalam bidang ilmu. Ia hidup sezaman dengan Sigmund Freud dan Emile Durkheim. Selain sebagai seorang ahli linguistic, ia juga adalah seorang spesialis bahasa-bahasa Indo-Eropa dan Sansekerta yang menjadi sumber pembaruan intelektual dalam bidang ilmu social dan kemanusiaan.[14]
Ia sebetulnya tidak pernah mencetak pemikirannya menjadi buku. Catatan-catatannya dikumpulkan oleh murid-muridnya menjadi sebuah outline.
Bahasa di mata Saussure tak ubahnya sebuah karya musik. Untuk memahami sebuah simponi, kita harus memperhatikan keutuhan karya musik secara keseluruhan dan bukan kepada permainan individual dari setiap pemain musik. Untuk memahami bahasa, kita harus melihatnya secara “sinkronis”, sebagai sebuah jaringan hubungan antara bunyi dan makna. Kita tidak boleh melihatnya secara atomistic, secara individual. [15]
Sedikitnya, ada lima pandangan dari Saussure yang di kemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, yaitu pandangan tentang (1) signifier (penanda) dan signified (petanda); (2) form (bentuk) dan content (isi); (3) langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran); (4) synchronic (sikronik) dan diachronic (diakronik); serta (5) syntagmatik (sintagmatik) associative (paradigmatic)
Linguistik Struktural Roman Jakobson
Beliau adalah murid ahli fonologi Rusia Nikolai Trouberzkoy. Dilahirkan di Moskow pada tahun 1896. Ia dianggap sebagai salah seorang ahli linguistic abad ke-20 yang menonjol, yang pertama kali meneliti secara serius baik pembelajaran bahasa maupun bagaimana fungsi bahasa bisa hilang pada afasia. Pemikiran awalnya yang penting adalah penekanannya pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran metaphor retoris (kesamaan), dan metonimia (kesinambungan), Ia pelopor utama upaya pendekatan strukturalis pada bahasa, khususnya karena ia sangat menekankan bahwa pola suara bahasa pada hakikatnya bersifat relasional. Hubungan antara suara dalam konteks tertentu menghasilkan makna dan signifikansi. Ia adalah seorang dari teoretikus yang pertama-tama berusaha menjelaskan proses komunikasi  teks sastra.
Analisis  Jakobson atas bahasa mengambil ide dari Saussure yang menyatakan bahwa bahasa atau struktur bahasa bersifat diferensial. Jakobson memandang bahwa bahasa memiliki enam macam fungsi, yaitu: (1) fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi emotif, pengungkap keadaan pembicara; (3) fungsi konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak; dan (6) fungsi fuitis, penyandi pesan. Dan ia yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantic, unit-unit yang bermakna, dan dilakukan dengan mengetahui cirri-ciri pembeda dari suatu suara yang memisahkannya dengan cirri-ciri suara yang lain. [16]
Metaseiomatika Louis Hjelmslev
Lahir di Denmark pada tahun 1889, dan meninggal pada1966. Dikenal sebagai salah satu tokoh linguistic yang berpesan dalam pengembangan semiologi pasca Saussure. Ia mengembangkan sistem dwipihak yang merupakan ciri sistem Saussure, dan membagi tanda ke dalam expression dan content, dua istilah yang sejajar dengan signifier dan signified dari Saussure.[17]
Sumbangan Hjelmslev terhadap semiologi Saussure adalah dalam menegaskan perlunya sebuah “sains yang mempelajari bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam masyarakat”
Dalam pandangan Hjelmslev, sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya.
Hjelmslev mengatakan bahwa “sebuah seiomatika denotative adalah sebuah seiomatika dimana bidangnya bukanlah semiotic”, sedangkan seiomatika konotatif adalah ” sebuah seiomatika di mana bidangnya bersifat semiotik’. Meskipun begitu, sebenarnya tidak hanya demikian yang berlangsung. Bidang kandungan bisa menjadi seiomatika, dan menurut Hjelmslev ini disebut sebagai suatu “metaseiomatika”. Menurut Hjelmslev, linguistic adalah sebuah contoh metaseiomatika: telaah tentang bahasa yang juga adalah bahasa itu sendiri.[18]
Semiologi Dan Mitologi Roland Barthesp.
Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Ayahnya, seorang perwira angkatan laut, meninggal dalam sebuah pertempuran di laut utara sebelun usia Barthes genap mencapai satu tahun. Sepeninggal ayahnya, ia kemudian diasuh oleh ibu, kakek, dan neneknya.
Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktekkan model linguistic dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan seiomatika pada studi sastra. Ia berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.[19]
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah pesan pembaca ( the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tartan kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.[20]

C.     Pesan filsafat seiomatika menafsir sistem tanda dalam pesan-pesan teks keagamaan
Secara definitif, seiomatika berasal dari kata seme (bahasa Yunani), yang berarti penafsiran tanda. Ada juga yang mengatakan semeotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda.[21]Oleh karena itu, seiomatika sering disebut sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan merupakan sekumpulan tanda-tanda.
Saussure juga menjelaskan perbedaan antara dia model analisis dalam penelitian bahasa, yaitu analisis diakronik (diachronic) dan analisis sinkronik (synchronic). Analisis diakronik adalah analisis tentang perubahan historis bahasa, yaitu bahasa dalam dimensi waktu, perkembangan dan perubahannya. Analisis sinkronik, adalah analisis yang di dalamnya kita mengambil irisan sejarah dan mengkaji struktur bahasa hanya pada satu momen waktu tertentu saja, bukan dalam konteks perubahan historisnya. Apa yang disebut pendekatan strukturalisme (structuralism) dalam bahasa, adalah pendekatan yang melihat hanya struktur bahasa, dan mengabaikan konteks waktu, perubahan, dan sejarahnya.
Penggunaan seiomatika sebagai metode pembacaan di dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, oleh karena itu kecenderungan dewasa ini untuk memandang sebagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, seni, dan desain sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan seiomatika, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan, oleh karena luasnya pengertian tanda itu sendiri, Saussure, misalnya menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dapat dipisahkan dari dua bidang – seperti halnya selembar kertas – yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi; dan bidang petanda (signified), untuk menjelaskan konsep atau makna.
Berkaitan dengan piramida pertandaan Saussure ini (tanda / penanda / petanda), Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social convention) di kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa.
Meskipun demikian, di dalam masyarakat informasi dewasa ini terjadi perubahan mendasar tentang bagaimana tanda dan objek sebagai tanda dipandang dan digunakan. Perubahan ini disebabkan, bahwa arus pertukaran tanda (sign exchange) atau objek dewasa ini tidak lagi berpusat di dalam satu komunitas tertutup, akan tetapi, melibatkan persinggungan di antatra berbagai komunitas, kebudayaan dan idelogi. Jean Baudrillard, di dalam berbagai karyanya mencoba melihat secara kritis kompleksitas penggunaan objek dan sistem objek (the system of objects) dalam konteks nilai tandanya (sign value) di dalam masyarakat kapitalis dewasa ini, yang merupakan sebuah bidang penelitian sendiri yang sangat kompleks.
Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat di lihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lainnya di dalam sebuah sistem. Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar ini (kalimat, buku, kitab) melibatkan apa yang disebut aturan pengkombinasian (rule of combination), yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradignatik (paradigmatic), yaitu perbendaharaan tanda atau kata (seperti kamus), serta aksis sintagmatik (syntagmatic), yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan (rule) atau kode tertentu sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.
Dalam hal ini seperti telah disebutkan terdahulu bahwa bahasa adalah suatu sistem yang didalamnya terkandung parole dan langue, serta seiomatika memaparkan proses tanda. Akan tetapi dikotomi seiomatika antara signifikasi dan signifiance, sekaligus menggambarkan dikotomi antara langue dan parole, dan pada tingkat filosofis antara paham idealisme dan materialisme. Ada kecenderungan pada wacana bahasa di Barat untuk melihat dikotomi ini sebagai layaknya pilihan multiple choice – yakni memilih salah satu kutub ekstrim. Misalnya, demi menjunjung tinggi kreativitas dalam bahasa, maka segala bentuk konvensi dan kode-kode sosial diabaikan dan didekonstruksi, sehingga berkembanglah produksi tanda secara anarkis.
Islam, seperti yang dapat dibuktikan tidak melihat dua hal yang berseberangan ini sebagai satu dikotomi atau oposisi biner seperti pilihan ganda, melainkan dua hal yang berkaitan secara hirarkis saja. Pada tingkat hirarki yang tertinggi, ada makna-makna transendensi yang wajib diterima dan diyakini; sedangkan pada tingkat yang lebih rendah, ada makna-makna yang bisa diproduksi secara kreatif. Islam melihat dua hal ini sebagai sesuatu yang dapat dipadukan dan saling mengisi dengan harmonis.
Posisi hirarkis – tapi saling mengisi – pertandaan dan pemaknaan dalam Islam ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Mengikuti sebagai sesuatu yang wajib konvensi atau kode yang telah ditegaskan, secara eksplisit (dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi), menerimanya sebagai sesuatu yang transenden, dan sekaligus menjadikannya sebagai satu sistem kepercayaan atau ideologis, serta berupaya mengekspresikannya melalui sistem signifikasi bahasa (tauhid, rukun iman).
  2. Menggali kemungkinan-kemungkinan pembaharuan penanda (signifier) atau petanda (signified) melalui pintu ijtihad, untuk hal-hal yang belum ditegaskan secara eksplisit (dalam Al Qur’an dan sunnah Rasul), serta terbuka bagi interpretasi (ritual, bank, makanan, pakaian, dan sebagainya), dengan mengunakan model signifiance, sejauh tetap menguji kompatibilitasnya (tidak bertentangan) dengan kode-kode yang lebih tinggi.
Sebagai contoh dari proses pertandaan yang saling mengisi ini adalah pada dunia fashion sebagai salah satu sistem seiomatika. Pakaian di dalam Islam sebagai satu tanda harus bersandar pada sistem tanda pada tingkat ideologis, berlandaskan konvensi dan kode tertinggi (kesopanan, kepatuhan), dan ini harus tercermin pada pertandaan. Akan tetapi, proses penafsiran pakaian sebagai satu sistem bahasa pada tingkat yang lebih rendah, misalnya dikaitkan dengan konteks musim, tren, mode dapat dilakukan melalui proses dekonstruksi secara bebas dari makna yang konvensional; melalui permainan dekonstruksi dan signifiance bentuk, warna, motif yang kreatif, selama ia tidak bertentangan dengan kode ideologis. Di sini pertandaan bisa bersifat sewenang-wenang. Hal yang sama dapat dilihat pada kubah sebagai tanda yang memberikan identitas Islam, padahal tanda ini bersifat konversi semata.[22]
Dikaitkan dengan dua tingkatan pertandaan yang dikemukakan oleh Barthes, maka sistem pertandaan dalam fashion Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
Bahasa
Penanda 1
Pakaian
Petanda 1
Elegan, dst

Ideologi
Tanda 1
Penanda 2
Petanda 2
Kesalehan, dst

Tanda 2
Konsepnya adalah, bahwa merubah tanda melalui pilihan-pilihan dan kombinasi bentuk menghasilkan keragaman makna-hangat, elegan, jiwa muda dan seterusnya, tetapi dengan tidak menanggalkan makna kesalehan di dalamnya.
Namun tidak semua tanda dapat diubah dengan cara sewenang-wenang, khususnya tanda-tanda yang berkaitan dengan rantai komunikasi manusia-Tuhan. Komunikasi manusia/Tuhan, khususnya dalam kerangka ibadah muamalah, memiliki bentuk atau gerakan ritual dan rukun tertentu, yang secara seiomatika dapat dianggap sebagai sepesangkat randa berdasarkan konvensi. Yang jadi masalah adalah, bahwa tidak semua tanda dalam rukun ibadah ini besifat sewenang-wenang. Di antara tanda ini ada yang bersifat ikonik atau indek. Merubah bentuk rukun ibadah yang bersifat ikonik ini akan merubah konteks dan makna secara keseluruhan. Contohnya rukun ibadah haji, melontar jumrah sebagai berikut:
Bahasa
Penanda 1
Lontar jumrah
Petanda 1
Mengusir iblis

Ideologi
Tanda 1
Penanda 2
Petanda 2
Kemuliaan/ ketinggian derajat manusia

Tanda 2
Melontar jumrah adalah satu bentuk pertandaan yang merupakan tiruan ikonik dari Nabi Ibrahim a.s. yang melempari iblis yang mengganggunya. Walaupun, dengan asumsi makna yang sama, yaitu mengusir iblis, akan tetapi, penanda – dalam hal ini adalah melontar kerikil tidak bisa dengan sewenang-wenang diganti secara kreatif, misalnya dengan ketapel, panah, atau pistol, meskipun semuanya boleh jadi akan menggiring pada makna ideologis ketinggian derajat manusia. Hal yang sama juga berlaku pada rukun shalat, misalnya rukun sujud diganti hanya dengan ibadah dalam hati. Merubah tanda yang telah eksplisit kodenya ini akan merubah makna ibadah itu sendiri.
Apabila seiomatika dipahami sebagai ilmu tentang tanda maka al qur’an dan hadist yang menjadi landasan hokum islam,  khususnya konsep langue atau lughah yang historis menjadi bidang subur bagi analisis semiotik, bukan parole atau firman yang a-historis. Tanda memainkan pesan penting dalam agama dan itu dengan berbagai cara yang perlu dibedakan. Pertama, dalam agama dunia ciptaan dengan berbagai aspeknya sering digambarkan sebagai tanda Allah. Kedua, kitab-kitab wahyu yang menjadi salah satu dasar kebanyakan agama, dapat dianggap sebagai himpunan tanda yang menunjukkan makna tertentu yang perlu digali dalam proses penafsiran. Ketiga, teks-teks wahyu pada umumnya dianggap sebagai himpunan tanda yang menyampaikan pesan atau amanat Ilahi. Dan keempat, pembicaraan mengenai agama dapat dianalisis sebagai himpunan tanda. [23]
Yang perlu dipahami dalam kajian ilmu-ilmu agama – khususnya kajian yang berhubungan dengan tanda dan komunikasi – adalah, bahwa memang ada tanda-tanda yang wajib diterima secara ideologis sebagai bersifat transenden; akan tetapi, ada pula tanda-tanda, atau kode yang pada kenyataannya telah diterima secara sosial sebagai satu keputusan final, sebagai taqlid, padahal sesungguhnya tanda-tanda dan kode tersebut terbuka bagi interpretasi, bagi dekonstruksi – atau istilah syariahnya yang lebih tepat adalah ijtihad.
Ijtihad dari segi etimologi berasal dari kata “juhd” yang berarti “kesungguhan” atau “kemampuan”. Ijtihada-yajtahidu-ijtihaadan, yang berarti badzlul juhdim li idzraki amrin syaqqin. Yakni mengerahkan segala daya upaya untuk mengetahui suatu perkara yang sulit.[24] Penggunaan kata “ijtahada” digunakan dalam urusan yang sangat berat atau sulit, bukan digunakan dalam suatu perbuatan yang ringan atau mudah. Istilah ijtihad tidak terdapat dalam Al Qur’an, tetapi akar katanya terdapat pada surat At-Taubah ayat 79, yakni kata “juhd” yang berarti kesanggupan. Dari kata “juhd” tersebut menjadi “jihad”, yakni kesanggupan untuk berusaha mendapatkan kebenaran dan menegakkannnya. Kesanggupan mendapatkan dan menegakkan kebenaran itu disebut jihad dalam arti umum. Hal ini telah diperintahkan oleh Allah SWT dalam berbagai ayat Al Qur’an, antara lain surat Al Furqon ayat 25. Juga tedapat dalam surat Al-Ankabut ayat 69 yang berupa janji Allah SWT untuk memberikan petunjuk-Nya bagi orang yang sungguh-sungguh melakukan jihad yang diperintahkan.
Kata “jihad” dan “ijtihad” keduanya berasal dari tiga huruf, yakni jim, ha’, dan dal, yang mengandung arti mencurahkan kemampuan atau menghilangkan kesulitan. Sebagaimana tersebut di atas, kata ijtihad bersasaran untuk mengenal pertunjuk agama Allah SWT. Kata ijtihad bergerak dalam bidang pemikiran dan penelitian. Sedangkan kata jihad bergerak dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku, yang keduanya saling melengkapi. Pemikiran ijtihad boleh jadi akan hilang apabila tidak ada semangat yang kuat yang didorong oleh semangat jihad. Demikian pula jihad akan kehilangan semangat kalau tidak didorong oleh ilmu yang menyinari untuk tetap berlangsungnya melakukan jihad. Adapun jihad dalam pengertian khusus dapat juga diproyeksikan pada usaha yang disebut ijtihad, yakni menggali hukum dari sumbernya yang akan menerangi jalan jihad dalam arti luas.
Kata ijtihad juga terdapat dalam Hadis, antara lain yang artinya “apabila hakim itu memutuskan suatu perkara dengan berijtihad dan ijtihadnya benar, maka baginya dua pahala. Dan apabila memutuskan (perkara itu) dengan berijtihad dan salah (ijtihadnya), maka baginya satu pahala”. (HR Imam yang enam dan Imam Ahmad).
Di dalam Al Qur’an ada kata-kata yang disamakan dengan ijtihad yaitu kata istambath dalam bentuk mudhari’nya yakni “yastambithu”. Kata tersebut terdapat dalam surat An-Nisa ayat 83. Ayat tersebut erat hubungannya dengan isi sebelumnya yakni agar kaum muslimin mau merenungkan isi kandungan Al Qur’an sehingga dalam memahami Al Qur’an itu tidak mengalami kesalahan. Kemudian ayat 83 itu menjelaskan bahwa orang-orang yang melakukan istambath terhadap Al Qur’an dengan mengembalikan kepada prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan ahlul halli wal aqdi, maka dapat memahami makna yang sebenarnya dalam ayat itu.
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa pengertian istimbath itu lebih umum daripada pengertian ijtihad. Karena kata ijtihad dalam hadis digunakan secara khusus yakni dalam pengertian hukum. Ijtihad menurut ahli ushul fiqh, adalah ijtihad yang digunakan secara khusus yakni bagi hakim dalam mendapatkan hukum penyelesaian persengketaan, kemudian pengertian itu diperluas oleh para ahli atau mujtahid dalam mendapatkan hukum.
Berdasarkan kenyataan sejarah perkembangan ilmu, pengertian ijtihad menurut ahli ushul selalu berkembang. Apabila definisi yang lain dihubungkan sampai pada pengertian yang memadai dalam pengertian yang sempurna, inipun masih terbatas pada masalah hukum saja dan ini sesuai dengan apa yang disebut hadis di atas. Perkembangan pengertian ijtihad menuju pada pengertian yang lebih sempurna, antara lain dapat diikuti sebagai berikut:
a.       Menurut Iman Al-Baidhawiy (w. 483 H). “Ijtihad ialah mencurahkan kesungguhan atau kesanggupan dalam mendapatkan hukum-hukum syara’”.
b.      Menurut Al-Amidy (w. 631 H). “Ijtihad ialah mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syara’ yang sifatnya dzanniy, dimana diri mujtahid merasa tidak mampu lagi untuk menambah kekuatannya lagi”.
c.       Menurut An-Nasafiy (w. 710 H). “Ijtihad ialah mencurahkan segenap kesungguhan atau kemampuan dalam mendapatkan hukum syara’ dengan suatu metode”.
d.      Menurut Ibnul Humam (wafat tahun 861 H). “Ijtihad ialah mencurahkan segenap kemampuan oleh para ahli hukum Islam dalam hukum syara’ yang bersifat zhanniy”.[25]
Pengertian ijtihad adalah mengerahkan segala daya upaya untuk mengetahui hokum syar’i. Maka seorang mujtahid wajib mengerahkan segala daya upayanya untuk mengetahui kebenaran kemudian menetapkan hkum sesuai dengan yang dia ketahui. Jika ijthadnya benar, dia mendapat dua pahala : pahala ijtihadnya dan pahala menepati kebenaran. Hal ini karena pada saat menpati kebenaran, ia menampkakkan kebenaran tersebut dan mengamalakannya. Sebaliknya, jika ijtihannya salah, ia mendapat satu pahala dan kesalahannya diampuni. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
“Jika seorang hakim memutuskan hokum dengan berijtihad lalu ijtihadnya benar, ia mendapat dua pahala dan jika menetapkan hokum dengan ijtihadnya lalu ijtihadnnya salah, ia mendapat dua pahala”[26]
Adapun jika seorang mujtahid belum mengetahui hokum sesuatu yang dicarinya, dia wajib diam dan dalam kondisi seperti itu ia boleh melakukan taqlid karena kondisi darurat.[27]
 Ijtihad mempunyai beberapa syarat berikut :
1.   Mengetahui dalil-dalil syar’i yang dibutuhkan dalam ijtihadnya seperti ayat-ayat dan hadist-hadist ahkam
2.   Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan shahih atau dhoifnya suatu hadist, seperti mengetahui isnad, rijal (para perawi hadist) dan selainnya
3.   Mengetahui nasikh dan mansuk dan perkara-perkara yang sudah menjadi ijma, sehingga tidak menetapkan hokum sesuatu yang sudah di mansukh atau menyelisihi ijma’.
4.   Mengetahui dalil-dalil yang menyebabkan suatu hokum menjadi berbeda, seperti takhshih atau taqyid atau sejenisnya sehingga ia tidak menetapkan hukum yang menyelisihi hal itu.
5.   Mengetahui bahasa arab dan ushul fiqh yang berhubungan dengan hal-hal yang ditunjukkan (dalalah) dari lafal-lafal, seperti am dank hash, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan dan sejenisnya agar ia dapat menetapkan hokum sesuai dengan yang dikehendaki oleh dalalah tersebut.
6.   Mempunyai kemampuan untuk beristimbath (mengeluarkan) hokum-hukum dari dalilnya. [28]
Dilihat dari sudut pandang seiomatika, sebagian besar syariah atau perintah-perintah Tuhan mengandung konvensi atau kode-kode, serta sepesangkat tanda dan cara pengungkapan tertentu. Namun, konvensi tersebut dihasilkan berdasarkan penafsiran sesuai dengan budaya dan kultur setempat. Dalam Islam ada tiga sumber hukum, yaitu al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad. Jika dari sumber pertama tanda belum memperlihatkan kode dan makna yang eksplisit, maka makna dan kode tersebut harus dicari pada Sunnah Nabi. Dan jika tidak ditemukan pada keduanya, maka makna dan kode bisa dilakukan dengan berijtihad (sesuai dengan hadist Mu’adh bin Jabal), yaitu dengan melakukan pembongkaran dan dekonstruksi guna menemukan kode-kode tertentu sesuai dengan budaya yang ada demi kemaslahatan hidup manusia.
Namun yang perlu diingat, bahwa ijtihad di sini sangat bergantung pada sepesangkat tanda tak eksplisit dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sehingga hasil penafsiran dan pemahaman tersebut tidak menerobos dan menundukkan kedudukan pesan dan makna yang bersifat transenden dan ideologis.
Karena itu, pemahaman baru terhadap al-Qur’an dan sunnah bukan berarti mereduksi, tetapi membuktikan sejauh mana al-Qur’an dan as sunnah  mampu berdialog dengan realitas. Teks, selayaknya dimaknai kembali secara komprehensif, inklusif dan substantif untuk menghindari pemahaman yang parsial, eksklusif dan formalistik. Dengan begitu, Islam yang diyakini sebagai agama Sālih lī kull zamān wa makān dan membawa misi rahmah li al-‘alamīn bukan saja menjadi retorika,melainkan sebuah kenyataan.


[1] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004 M. h. 16
[2] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 11
[3] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi,, h. 12. Ahmad Muhtar Umar, Ilmu al-Dilalah, (Cet. III; Cairo: Alam al-Kutub, 1992), h. 14

[4] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Cet. III; Bandung: Remaja Rosdakarya. 2004. h.17
[5] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 39
[6] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 19
[7] Umberto Eco, A Theory of Semiotics (Bloomington: Indiana University Press, 1976), 16
[8] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis(Jakarta:Gramedia, 2001), 180
[9] Kris Budiman, Semiotika Visual, 42
[10] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, 261
[11] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika, 262.

[12] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Cet II: Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. H. 39
[13] Winfried NOTH, Semiotik, Cet I; Surabaya : Airlangga University Press, 2006. h,39, Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, Mengungkao hakikat bahsa, makna, tanda (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) h. 130
[14] Winfried NOTH, Semiotik, h. 45
[15] Winfried NOTH, Semiotik,h. 44,
[16] Winfried NOTH, Semiotik, h. 74
[17]. Winfried NOTH, Semiotik, h.64
[18] Winfried NOTH, Semiotik, h.63
[19] Winfried NOTH, Semiotik
[20] Winfried NOTH, h.314

[21] Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 97.
[22] Yasraf Amir Piliang. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yokyakarta. Jalasutra. 2003
[23] Johan Meuleman, “Sumbangan dan Batas Semiotika dalam Ilmu Agama”, dalam Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammed Arkoun, ed. Johan Hendrik Meuleman (Yogyakarta: LKiS, 1996), 35
[24] Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Ushul Fiqih.  Jogjakarta. 2008. Media Hidayah
[25] Abdul Mugtis, Kritik NalarFiqh Pesantre. Kencana. Jakarta. 2008. Hal 87
[26] HR. Muttafaqun Alaih
[27] Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Ushul Fiqih.  Jogjakarta. 2008. Media Hidayah

[28] Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Ushul Fiqih.  Jogjakarta. 2008. Media Hidayah
Kesimpulan

1.      Seiomatika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu yang menganggap bahwa fenomena social atau masyarakat dan kebudayaannya merupakan tanda-tanda.
2.      Terdapat beberapa tokoh yang berpengaruh dalam seiomatika dan dengan pokok pemikirannya yaitu :
a.       Pragmatisme oleh Charles sanders pierce
b.      Teori tanda Ferdinand de Saussure
c.       Linguistik Struktural Roman Jacobson
d.      Metaseiomatika Louis Hjelmslev
e.       Semiologi dan mitologi Roland Barthesp
Pesan filsafat seiomatika menafsir sistem tanda dalam pesan-pesan teks keagamaan memiliki kontribusi, hal ini karena sebagian besar syariah atau perintah-perintah Tuhan mengandung konvensi atau kode-kode, serta seperangkat tanda dan cara pengungkapan tertentu. Namun, konvensi tersebut dihasilkan berdasarkan penafsiran sesuai dengan budaya dan kultur setempat. Dalam Islam ada tiga sumber hukum, yaitu al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad. Jika dari sumber pertama tanda belum memperlihatkan kode dan makna yang eksplisit, maka makna dan kode tersebut harus dicari pada Sunnah Nabi. Dan jika tidak ditemukan pada keduanya, maka makna dan kode bisa dilakukan dengan berijtihad (sesuai dengan hadist Mu’adh bin Jabal), yaitu dengan melakukan pembongkaran dan dekonstruksi guna menemukan kode-kode tertentu sesuai dengan budaya yang ada demi kemaslahatan hidup manusia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar