Seiomatika
menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan
pertanda (signitied). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai
sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai
oleh petanda itu yaitu artinya. Sistem pembacaan seiomatika sangat menarik jika
diimplementasikan dalam ilmu Islam, dimana Seiomatika percaya bahwa tidak ada
sebuah ungkapan atau karya pun yang kosong dari dimensi intertekstual ini.
Ruang tekstual adalah sebuah ruang tiga dimensi atau kordinat yang abstrak,
yang di dalamnya terjadi dialog antara subjek penulis, pembaca dan teks-teks lain
yang berasal dari luar (eksterior) sebuah teks[1].
Sebagaimana dipahami oleh para ahli seiomatika,
bahwa terdapat dua tradisi yang besar yang mengikuti pandangan dua filsuf besar
yaitu filsuf bahasa Ferdinan de Saussure yang merupakan bapak linguistik
modern dan Charles Sanders Peirce yang memiliki latar belakang filsafat
pragmatisme, logika dan bahasa. Seiomatika yang mengikuti tradisi Saussure
lebih dikenal dengan istilah semiologi, sedangkan Tradisi Peirce
dipopulerkan dengan istilah seiomatika. Padangan filsafat Saussure tentang
bahasa menyebutkan bahwa hakikat bahasa adalah merupakan suatu tanda, oleh
karena itu bahasa merupakan sarana komunikasi manusia maka bahasa juga sebagai
sistem tanda dalam komunikasi manusia.
Jika bahasa sebagai sistem tanda dalam komunikasi
sosial manusia maka implisit dalam pengertian tersebut terdapat sebuah relasi,
bahwa bila tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, maka tanda juga
merupakan bagian dari aturan-aturan dalam kehidupan sosial yang berlaku. Oleh
karena itu dalam seiomatika terdapat pengertian sistem tanda (sign system) dan sistem sosial (social system) yang kedua-duanya saling
berhubungan. Saussure tidak mengakui bahwa bahasa memiliki keteraturan secara
alamiah, melainkan dalam bahasa terdapat konvensi sosial (social convention), dan bahasa adalah sebagai convensi arbitrer[2].
Namun pada kenyataannya,
bahwa seiomatika pada kenyataannya dapat memberikan sumbangan yang cukup kaya
dalam upaya menyoroti fenomena-fenomena keilmuan, khususnya ilmu-ilmu agama
maka dibuatlah makalah filsafat seiomatika menafsir sistem tanda
[2] Drs.
H. Muzairi, MA. Kontribusi Semiotika
Terhadap Studi Ilmu-Ilmu Agama. Laporan Penelitian Individual Boptn. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga; Yogyakarta. 2013
A. Defenisi seiomatika
Kata Seiomatika berasal dari
bahasa Yunani, semeion, yang berarti “tanda” atau seme, yang
berarti “penafsir tanda”. Seiomatika berakar dari studi klasik dan skolastik
atas seni logika, retorika, dan poetika. “Tanda” pada masa itu masih bermakna
sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya
api. Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak
memiliki arti pada dirinya sendiri[1].
Kata seiomatika
dan semiologi adalah istilah yang ada dalam sejarah linguistic,
selain kedua istilah ini ada pula digunakan istilah lain seperti semasiologi,
sememik, dan semik untuk merujuk kepada bidang studi yang
mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambing.[2]
Sesungguhnya
kedua istilah ini, seiomatika dan semiologi, mengandung
pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah
tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya: mereka yang bergabung
dengan Pierce atau mengacu pada tradisi Amerika menggunakan kata seiomatika,
dan mereka yang bergabung Saussure atau mengacu pada tradisi Eropa menggunakan
kata semiologi. Namun yang terakhir, jika dibandingkan dengan yang pertama,
kian jarang dipakai, ada kecendrungan istilah seiomatika lebih populer
dari istilah semiologi sehingga para penganut Saussure pun sering
menggunakannya.[3]
Pada dasarnya, semiosis dapat
dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan dalam istilah seiomatika
sebagai suatu hubungan antara lima istilah:
S ( s, i, e, r, c )
S adalah untuk semiotic
relation (hubungan semiotic), s untuk sign ( tanda); I untuk interpreter
(penafsir); e untuk effect atau pengaruh, r untuk reference
(rujukan); dan c untuk context (konteks) atau conditions (kondisi).
Begitulah, seiomatika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang
tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda,
serta proses signifikasi yang menyertainya.[4]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa
studi seiomatika disusun dalam tiga poros.[5]
Poros horizontal menyajikan tiga jenis penyelidikan seiomatika (murni,
deskriptif, dan terapan); poros vertical menyajikan tiga tataran hubungan
semiotic (sintaktik, semantic, dan pragmatic); dan poros yang menyajikan tiga
kategori sarana informasi (signals, signs, dan symbols)[6]
Seiomatika
adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena social atau
masyarakat dan kebudayaannya merupakan tanda-tanda. Artinya, seiomatika
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan
tanda-tanda tersebut mempunyai arti.[7]
Dengan kata lain, seiomatika mempelajari relasi di antara komponen-komponen tanda,
serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya.
Ada
beberapa elemen dasar dalam kajian seiomatika di antaranya; (i) komponen tanda,
(ii) aksis tanda, (iii) tingkatan tanda, dan (iv) relasi antar tanda.
1.
Komponen Tanda
Dalam
perkembangannya, seiomatika menganut dikotomi bahasa yang dikembangkan Saussure,
yaitu tanda (sign) memiliki hubungan antara penanda (signifiant/signifier)
dan petanda (signifie/signified). Penanda adalah aspek material, seperti suara,
huruf, bentuk, gambar, dan gerak, sedangkan petanda adalah aspek mental atau
konseptual yang ditunjuk oleh aspek material. Kedua aspek ini, yaitu penanda
dan petanda kemudian disebut komponen tanda. Sehingga
keberadaan dua unsur ini tidak bisa dipisahkan, dan pemisahan hanya akan
mengaburkan pengertian kata (tanda) itu sendiri.
Dalam
pandangan Saussure, tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah
ide, atau petanda. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa, apa yang
dikatakan atau didengar, dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda
adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental
dari bahasa.[8]
2.
Aksis Tanda
Di
dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara
individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lain di
dalam sebuah sistem. Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang
lebih besar ini melibatkan apa yang disebut aturan pengkombinasian yang terdiri
dari dua aksis tanda, yaitu aksis sintagmatik dan aksis paradigmatik.
Aksis
sintagmatik adalah sebuah relasi yang merujuk kepada hubungan in
praesentia di antara satu kata dengan kata-kata yang lain, atau antara
satuan gramatikal dengan satuan gramatikal yang lain di dalam ujaran atau
tindak tutur (speech act).
Aksis
sintagmatik ini berkebalikan dengan relasi asosiatif, yang di
dalam linguistik pasca Saussure disebut sebagai aksis paradigmatik. Di
dalam relasi ini setiap tanda berada di dalam kodenya sebagai bagian dari suatu
paradigma, suatu sistem relasi in absentia yang mengaitkan tanda-tanda
tersebut dengan tanda-tanda lain sebelum ia muncul dalam tuturan.[9]
3.
Tingkatan Tanda
Salah
satu area penting yang dirambah Roland Barthes dalam studinya tentang tanda adalah
tingkatan tanda, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau
antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang
eksplisit, langsung, dan pasti.
Konotasi
adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda
yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan
tidak pasti (terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna-makna
lapis kedua yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek
psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga, ia
mengkonotasikan kasih sayang. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua
yang bersifat implisit, tersembunyi, inilah yang disebut makna konotatif.[10]
4.
Relasi Antar Tanda
Selain
kombinasi tanda, analisis seiomatika juga berupaya mengungkap interaksi di antara
tanda-tanda. Meskipun bentuk interaksi antara tanda-tanda ini sangat luas, akan
tetapi ada dua bentuk interaksi utama yang dikenal, yaitu metafora dan
metonimi.
Metafora
adalah sebuah model interaksi tanda, yang di dalamnya sebuah tanda dari sebuah
sistem digunakan untuk menjelaskan makna untuk sebuah sistem yang lainnya. Misalnya
penggunaan metafora “kepala batu” untuk menjelaskan seseorang yang tidak mau diubah
pikirannya.
Metonimi
adalah interaksi tanda, yang di dalamnya sebuah tanda diasosiasikan dengan tanda
lain, yang di dalamnya juga terdapat hubungan bagian dengan keseluruhan.
Misalnya, tanda “botol” (bagian) untuk mewakili pemabuk (total), atau, tanda
“mahkota” untuk mewakili konsep tentang kerajaan.[11]
B. Pokok dan Tokoh Seiomatika
Pragmatisme Charles Sanders Pierce
Ia adalah salah seorang filsuf
Amerika yang paling orisinal dan multidimensional, seorang pemikir yang
argumentative. Namun ironisnya, di tengah-tengah kehidupan masyarakat,
teman-temannya membiarkan dia hidup dalam kesusahan sampai meninggalnya, tahun
1914. Ia diperbolehkan menjadi lector di suatu Universitas hanya lima tahun.
Setelah itu Pierce diberhentikan. Barangkali karena Pierce, seperti dituturkan
Cobley dan Jansz, tidak dapat menjadi contoh dari gaya hidup akademik yang
santun, lingkungan tempat dia secara bertahap mengonstruksi ‘Seiomatika”-nya.
“Sifat pemarah dan sulit diatur itu diduga karena penyakit sarafnya yang sering
kambuh dan kerusakan kulir di sekitar wajah yang agak parah,”[12]
Pierce lahir dalam keluarga
intelektual pada tahun 1839 (ayahnya, Benjamin adalah seorang professor
matematika di Harvard). Pada tahun 1859, 1862, dan 1863 secara berturut-turut
ia menerima gelar B.A., M.A., dan B.Sc. dari Universitas Harvard. Selama lebih
dari tiga puluh tahun (1859-1860, 1861-1891) Pierce banyak melaksanakan tugas
astronomi dan geodesi untuk Survei Pantai Amerika Serikat. Dari tahun
1879-1884, ia menjadi dosen paruh waktu dalam bidang logika di Universitas
Johns Hopkins.
Pierce terkenal karena teori
tandanya. Di dalam lingkup seiomatika, seringkali mengulang-ulang bahwa secara
umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Berdasarkan objeknya,
Pierce membagi tanda atas icon, index, dan symbol. Dan dia juga
membaginya menjadi sepuluh jenis: Qualisign, Iconic Sinsign, Rhematic
Indexical Sinsign, Dicent Sinsign, Iconic Legisign, Rhematic Indexical
Legisign, Dicent Indexical Legisign, Rhematic Symbol, Dicent Simbol, dan
Argument. [13]
Teori ini
secara sederhaanya dapat dilihat pada gamba dan rumus berikut:
Text
|
Makna
|
Tanda
|
Sign
|
Signified Petanda
Cinta Akustik
Teori Tanda Ferdinand De Saussure
Dilahirkan di Jenewa pada tahun 1857
dalam sebuah keluarga yang sangat terkenal di kota itu karena keberhasilan
mereka dalam bidang ilmu. Ia hidup sezaman dengan Sigmund Freud dan Emile
Durkheim. Selain sebagai seorang ahli linguistic, ia juga adalah seorang
spesialis bahasa-bahasa Indo-Eropa dan Sansekerta yang menjadi sumber pembaruan
intelektual dalam bidang ilmu social dan kemanusiaan.[14]
Ia sebetulnya tidak pernah mencetak
pemikirannya menjadi buku. Catatan-catatannya dikumpulkan oleh murid-muridnya
menjadi sebuah outline.
Bahasa di mata Saussure tak ubahnya
sebuah karya musik. Untuk memahami sebuah simponi, kita harus memperhatikan
keutuhan karya musik secara keseluruhan dan bukan kepada permainan individual
dari setiap pemain musik. Untuk memahami bahasa, kita harus melihatnya secara
“sinkronis”, sebagai sebuah jaringan hubungan antara bunyi dan makna. Kita
tidak boleh melihatnya secara atomistic, secara individual. [15]
Sedikitnya, ada lima pandangan dari
Saussure yang di kemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme
Levi-Strauss, yaitu pandangan tentang (1) signifier (penanda) dan signified
(petanda); (2) form (bentuk) dan content (isi); (3) langue
(bahasa) dan parole (tuturan, ujaran); (4) synchronic (sikronik)
dan diachronic (diakronik); serta (5) syntagmatik (sintagmatik) associative
(paradigmatic)
Linguistik Struktural Roman Jakobson
Beliau adalah murid ahli fonologi
Rusia Nikolai Trouberzkoy. Dilahirkan di Moskow pada tahun 1896. Ia dianggap
sebagai salah seorang ahli linguistic abad ke-20 yang menonjol, yang pertama
kali meneliti secara serius baik pembelajaran bahasa maupun bagaimana fungsi
bahasa bisa hilang pada afasia. Pemikiran awalnya yang penting adalah
penekanannya pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran
metaphor retoris (kesamaan), dan metonimia (kesinambungan), Ia pelopor utama
upaya pendekatan strukturalis pada bahasa, khususnya karena ia sangat
menekankan bahwa pola suara bahasa pada hakikatnya bersifat relasional.
Hubungan antara suara dalam konteks tertentu menghasilkan makna dan
signifikansi. Ia adalah seorang dari teoretikus yang pertama-tama berusaha
menjelaskan proses komunikasi teks sastra.
Analisis Jakobson atas bahasa
mengambil ide dari Saussure yang menyatakan bahwa bahasa atau struktur bahasa
bersifat diferensial. Jakobson memandang bahwa bahasa memiliki enam macam
fungsi, yaitu: (1) fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi emotif,
pengungkap keadaan pembicara; (3) fungsi konatif, pengungkap keinginan
pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang
penyimak; (4) fungsi metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yang
digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau
kontak antara pembicara dengan penyimak; dan (6) fungsi fuitis, penyandi pesan.
Dan ia yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk
memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantic, unit-unit yang bermakna,
dan dilakukan dengan mengetahui cirri-ciri pembeda dari suatu suara yang
memisahkannya dengan cirri-ciri suara yang lain. [16]
Metaseiomatika Louis Hjelmslev
Lahir di Denmark pada tahun 1889,
dan meninggal pada1966. Dikenal sebagai salah satu tokoh linguistic yang berpesan
dalam pengembangan semiologi pasca Saussure. Ia mengembangkan sistem dwipihak
yang merupakan ciri sistem Saussure, dan membagi tanda ke dalam expression
dan content, dua istilah yang sejajar dengan signifier dan signified
dari Saussure.[17]
Sumbangan Hjelmslev terhadap
semiologi Saussure adalah dalam menegaskan perlunya sebuah “sains yang
mempelajari bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam masyarakat”
Dalam pandangan Hjelmslev, sebuah
tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan internal antara aspek material
(penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara
dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya.
Hjelmslev mengatakan bahwa “sebuah seiomatika
denotative adalah sebuah seiomatika dimana bidangnya bukanlah semiotic”,
sedangkan seiomatika konotatif adalah ” sebuah seiomatika di mana bidangnya
bersifat semiotik’. Meskipun begitu, sebenarnya tidak hanya demikian yang
berlangsung. Bidang kandungan bisa menjadi seiomatika, dan menurut Hjelmslev
ini disebut sebagai suatu “metaseiomatika”. Menurut Hjelmslev, linguistic
adalah sebuah contoh metaseiomatika: telaah tentang bahasa yang juga adalah
bahasa itu sendiri.[18]
Semiologi Dan Mitologi Roland
Barthesp.
Barthes lahir tahun 1915 dari
keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota
kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Ayahnya, seorang
perwira angkatan laut, meninggal dalam sebuah pertempuran di laut utara sebelun
usia Barthes genap mencapai satu tahun. Sepeninggal ayahnya, ia kemudian diasuh
oleh ibu, kakek, dan neneknya.
Barthes dikenal sebagai salah
seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktekkan model linguistic dan
semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang
ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan seiomatika pada studi sastra. Ia
berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan
asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.[19]
Salah satu area penting yang
dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah pesan pembaca ( the
reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan
keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas
apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tartan kedua, yang dibangun di
atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.[20]
C. Pesan filsafat seiomatika menafsir sistem tanda
dalam pesan-pesan teks keagamaan
Secara definitif, seiomatika berasal dari kata seme
(bahasa Yunani), yang berarti penafsiran tanda. Ada juga yang mengatakan
semeotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda.[21]Oleh
karena itu, seiomatika sering disebut sebagai ilmu yang mengkaji tentang
tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan merupakan
sekumpulan tanda-tanda.
Saussure juga menjelaskan perbedaan antara dia model
analisis dalam penelitian bahasa, yaitu analisis diakronik (diachronic) dan analisis sinkronik (synchronic). Analisis diakronik adalah
analisis tentang perubahan historis bahasa, yaitu bahasa dalam dimensi waktu,
perkembangan dan perubahannya. Analisis sinkronik, adalah analisis yang di
dalamnya kita mengambil irisan sejarah dan mengkaji struktur bahasa hanya pada
satu momen waktu tertentu saja, bukan dalam konteks perubahan historisnya. Apa
yang disebut pendekatan strukturalisme (structuralism)
dalam bahasa, adalah pendekatan yang melihat hanya struktur bahasa, dan
mengabaikan konteks waktu, perubahan, dan sejarahnya.
Penggunaan seiomatika sebagai metode pembacaan di
dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, oleh karena itu kecenderungan
dewasa ini untuk memandang sebagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya,
seni, dan desain sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan seiomatika,
bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka ia
dapat pula dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan, oleh karena luasnya
pengertian tanda itu sendiri, Saussure, misalnya menjelaskan tanda sebagai
kesatuan yang tak dapat dapat dipisahkan dari dua bidang – seperti halnya
selembar kertas – yaitu bidang penanda (signifier)
untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi; dan bidang petanda (signified), untuk menjelaskan konsep
atau makna.
Berkaitan dengan piramida pertandaan Saussure ini
(tanda / penanda / petanda), Saussure menekankan perlunya semacam konvensi
sosial (social convention) di
kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata
mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara
komunitas pengguna bahasa.
Meskipun demikian, di dalam masyarakat informasi
dewasa ini terjadi perubahan mendasar tentang bagaimana tanda dan objek sebagai
tanda dipandang dan digunakan. Perubahan ini disebabkan, bahwa arus pertukaran
tanda (sign exchange) atau objek
dewasa ini tidak lagi berpusat di dalam satu komunitas tertutup, akan tetapi,
melibatkan persinggungan di antatra berbagai komunitas, kebudayaan dan idelogi.
Jean Baudrillard, di dalam berbagai karyanya mencoba melihat secara kritis
kompleksitas penggunaan objek dan sistem objek (the system of objects) dalam konteks nilai tandanya (sign value) di dalam masyarakat
kapitalis dewasa ini, yang merupakan sebuah bidang penelitian sendiri yang
sangat kompleks.
Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak
dapat di lihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya
dengan tanda-tanda lainnya di dalam sebuah sistem. Analisis tanda berdasarkan
sistem atau kombinasi yang lebih besar ini (kalimat, buku, kitab) melibatkan
apa yang disebut aturan pengkombinasian (rule
of combination), yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradignatik (paradigmatic), yaitu perbendaharaan
tanda atau kata (seperti kamus), serta aksis sintagmatik (syntagmatic), yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda,
berdasarkan aturan (rule) atau kode
tertentu sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.
Dalam hal ini seperti telah disebutkan terdahulu
bahwa bahasa adalah suatu sistem yang didalamnya terkandung parole dan langue, serta seiomatika memaparkan proses tanda. Akan tetapi
dikotomi seiomatika antara signifikasi dan signifiance, sekaligus menggambarkan
dikotomi antara langue dan parole, dan pada tingkat filosofis antara paham
idealisme dan materialisme. Ada kecenderungan pada wacana bahasa di Barat untuk
melihat dikotomi ini sebagai layaknya pilihan multiple choice – yakni memilih salah satu kutub ekstrim. Misalnya,
demi menjunjung tinggi kreativitas dalam bahasa, maka segala bentuk konvensi
dan kode-kode sosial diabaikan dan didekonstruksi, sehingga berkembanglah
produksi tanda secara anarkis.
Islam, seperti yang dapat dibuktikan tidak melihat
dua hal yang berseberangan ini sebagai satu dikotomi atau oposisi biner seperti
pilihan ganda, melainkan dua hal yang berkaitan secara hirarkis saja. Pada
tingkat hirarki yang tertinggi, ada makna-makna transendensi yang wajib
diterima dan diyakini; sedangkan pada tingkat yang lebih rendah, ada
makna-makna yang bisa diproduksi secara kreatif. Islam melihat dua hal ini
sebagai sesuatu yang dapat dipadukan dan saling mengisi dengan harmonis.
Posisi hirarkis – tapi saling mengisi – pertandaan
dan pemaknaan dalam Islam ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Mengikuti sebagai sesuatu yang wajib konvensi atau kode yang telah ditegaskan, secara eksplisit (dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi), menerimanya sebagai sesuatu yang transenden, dan sekaligus menjadikannya sebagai satu sistem kepercayaan atau ideologis, serta berupaya mengekspresikannya melalui sistem signifikasi bahasa (tauhid, rukun iman).
- Menggali kemungkinan-kemungkinan pembaharuan penanda (signifier) atau petanda (signified) melalui pintu ijtihad, untuk hal-hal yang belum ditegaskan secara eksplisit (dalam Al Qur’an dan sunnah Rasul), serta terbuka bagi interpretasi (ritual, bank, makanan, pakaian, dan sebagainya), dengan mengunakan model signifiance, sejauh tetap menguji kompatibilitasnya (tidak bertentangan) dengan kode-kode yang lebih tinggi.
Sebagai contoh dari proses pertandaan yang saling
mengisi ini adalah pada dunia fashion sebagai salah satu sistem seiomatika.
Pakaian di dalam Islam sebagai satu tanda harus bersandar pada sistem tanda
pada tingkat ideologis, berlandaskan konvensi dan kode tertinggi (kesopanan,
kepatuhan), dan ini harus tercermin pada pertandaan. Akan tetapi, proses
penafsiran pakaian sebagai satu sistem bahasa pada tingkat yang lebih rendah,
misalnya dikaitkan dengan konteks musim, tren, mode dapat dilakukan melalui
proses dekonstruksi secara bebas dari makna yang konvensional; melalui
permainan dekonstruksi dan signifiance
bentuk, warna, motif yang kreatif, selama ia tidak bertentangan dengan kode
ideologis. Di sini pertandaan bisa bersifat sewenang-wenang. Hal yang sama
dapat dilihat pada kubah sebagai tanda yang memberikan identitas Islam, padahal
tanda ini bersifat konversi semata.[22]
Dikaitkan dengan dua tingkatan pertandaan yang
dikemukakan oleh Barthes, maka sistem pertandaan dalam fashion Islam dapat
digambarkan sebagai berikut:
Bahasa
|
Penanda 1
Pakaian
|
Petanda 1
Elegan, dst
|
|
Ideologi
|
Tanda 1
Penanda 2
|
Petanda 2
Kesalehan, dst
|
|
|
Tanda 2
|
Konsepnya adalah, bahwa merubah tanda melalui
pilihan-pilihan dan kombinasi bentuk menghasilkan keragaman makna-hangat,
elegan, jiwa muda dan seterusnya, tetapi dengan tidak menanggalkan makna
kesalehan di dalamnya.
Namun tidak semua tanda dapat diubah dengan cara
sewenang-wenang, khususnya tanda-tanda yang berkaitan dengan rantai komunikasi
manusia-Tuhan. Komunikasi manusia/Tuhan, khususnya dalam kerangka ibadah
muamalah, memiliki bentuk atau gerakan ritual dan rukun tertentu, yang secara seiomatika
dapat dianggap sebagai sepesangkat randa berdasarkan konvensi. Yang jadi
masalah adalah, bahwa tidak semua tanda dalam rukun ibadah ini besifat
sewenang-wenang. Di antara tanda ini ada yang bersifat ikonik atau indek.
Merubah bentuk rukun ibadah yang bersifat ikonik ini akan merubah konteks dan
makna secara keseluruhan. Contohnya rukun ibadah haji, melontar jumrah sebagai
berikut:
Bahasa
|
Penanda 1
Lontar jumrah
|
Petanda 1
Mengusir iblis
|
|
Ideologi
|
Tanda 1
Penanda 2
|
Petanda 2
Kemuliaan/ ketinggian
derajat manusia
|
|
|
Tanda 2
|
Melontar jumrah adalah satu bentuk pertandaan yang
merupakan tiruan ikonik dari Nabi Ibrahim a.s. yang melempari iblis yang
mengganggunya. Walaupun, dengan asumsi makna yang sama, yaitu mengusir iblis,
akan tetapi, penanda – dalam hal ini adalah melontar kerikil tidak bisa dengan
sewenang-wenang diganti secara kreatif, misalnya dengan ketapel, panah, atau
pistol, meskipun semuanya boleh jadi akan menggiring pada makna ideologis
ketinggian derajat manusia. Hal yang sama juga berlaku pada rukun shalat,
misalnya rukun sujud diganti hanya dengan ibadah dalam hati. Merubah tanda yang
telah eksplisit kodenya ini akan merubah makna ibadah itu sendiri.
Apabila
seiomatika dipahami sebagai ilmu tentang tanda maka al qur’an dan hadist yang
menjadi landasan hokum islam, khususnya
konsep langue atau lughah yang historis menjadi bidang subur bagi
analisis semiotik, bukan parole atau firman yang a-historis.
Tanda memainkan pesan penting dalam agama dan itu dengan berbagai cara yang
perlu dibedakan. Pertama, dalam agama dunia ciptaan dengan berbagai
aspeknya sering digambarkan sebagai tanda Allah. Kedua, kitab-kitab wahyu
yang menjadi salah satu dasar kebanyakan agama, dapat dianggap sebagai himpunan
tanda yang menunjukkan makna tertentu yang perlu digali dalam proses
penafsiran. Ketiga, teks-teks wahyu pada umumnya dianggap sebagai
himpunan tanda yang menyampaikan pesan atau amanat Ilahi. Dan keempat,
pembicaraan mengenai agama dapat dianalisis sebagai himpunan tanda. [23]
Yang
perlu dipahami dalam kajian ilmu-ilmu agama – khususnya kajian yang berhubungan
dengan tanda dan komunikasi – adalah, bahwa memang ada tanda-tanda yang wajib
diterima secara ideologis sebagai bersifat transenden; akan tetapi, ada pula
tanda-tanda, atau kode yang pada kenyataannya telah diterima secara sosial
sebagai satu keputusan final, sebagai taqlid, padahal sesungguhnya tanda-tanda
dan kode tersebut terbuka bagi interpretasi, bagi dekonstruksi – atau istilah
syariahnya yang lebih tepat adalah ijtihad.
Ijtihad dari segi etimologi berasal dari kata “juhd”
yang berarti “kesungguhan” atau “kemampuan”. Ijtihada-yajtahidu-ijtihaadan,
yang berarti badzlul juhdim li idzraki amrin syaqqin. Yakni mengerahkan segala
daya upaya untuk mengetahui suatu perkara yang sulit.[24]
Penggunaan kata “ijtahada” digunakan dalam urusan yang sangat berat atau sulit,
bukan digunakan dalam suatu perbuatan yang ringan atau mudah. Istilah ijtihad
tidak terdapat dalam Al Qur’an, tetapi akar katanya terdapat pada surat
At-Taubah ayat 79, yakni kata “juhd” yang berarti kesanggupan. Dari kata “juhd”
tersebut menjadi “jihad”, yakni kesanggupan untuk berusaha mendapatkan
kebenaran dan menegakkannnya. Kesanggupan mendapatkan dan menegakkan kebenaran
itu disebut jihad dalam arti umum. Hal ini telah diperintahkan oleh Allah SWT
dalam berbagai ayat Al Qur’an, antara lain surat Al Furqon ayat 25. Juga
tedapat dalam surat Al-Ankabut ayat 69 yang berupa janji Allah SWT untuk
memberikan petunjuk-Nya bagi orang yang sungguh-sungguh melakukan jihad yang
diperintahkan.
Kata “jihad” dan “ijtihad” keduanya berasal dari
tiga huruf, yakni jim, ha’, dan dal, yang mengandung arti mencurahkan kemampuan
atau menghilangkan kesulitan. Sebagaimana tersebut di atas, kata ijtihad
bersasaran untuk mengenal pertunjuk agama Allah SWT. Kata ijtihad bergerak
dalam bidang pemikiran dan penelitian. Sedangkan kata jihad bergerak dalam
ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku, yang keduanya saling melengkapi.
Pemikiran ijtihad boleh jadi akan hilang apabila tidak ada semangat yang kuat
yang didorong oleh semangat jihad. Demikian pula jihad akan kehilangan semangat
kalau tidak didorong oleh ilmu yang menyinari untuk tetap berlangsungnya
melakukan jihad. Adapun jihad dalam pengertian khusus dapat juga diproyeksikan
pada usaha yang disebut ijtihad, yakni menggali hukum dari sumbernya yang akan
menerangi jalan jihad dalam arti luas.
Kata ijtihad juga terdapat dalam Hadis, antara lain
yang artinya “apabila hakim itu memutuskan suatu perkara dengan berijtihad dan
ijtihadnya benar, maka baginya dua pahala. Dan apabila memutuskan (perkara itu)
dengan berijtihad dan salah (ijtihadnya), maka baginya satu pahala”. (HR Imam
yang enam dan Imam Ahmad).
Di dalam Al Qur’an ada kata-kata yang disamakan
dengan ijtihad yaitu kata istambath dalam bentuk mudhari’nya yakni
“yastambithu”. Kata tersebut terdapat dalam surat An-Nisa ayat 83. Ayat
tersebut erat hubungannya dengan isi sebelumnya yakni agar kaum muslimin mau
merenungkan isi kandungan Al Qur’an sehingga dalam memahami Al Qur’an itu tidak
mengalami kesalahan. Kemudian ayat 83 itu menjelaskan bahwa orang-orang yang
melakukan istambath terhadap Al Qur’an dengan mengembalikan kepada
prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan ahlul halli wal aqdi,
maka dapat memahami makna yang sebenarnya dalam ayat itu.
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa pengertian
istimbath itu lebih umum daripada pengertian ijtihad. Karena kata ijtihad dalam
hadis digunakan secara khusus yakni dalam pengertian hukum. Ijtihad menurut
ahli ushul fiqh, adalah ijtihad yang digunakan secara khusus yakni bagi hakim
dalam mendapatkan hukum penyelesaian persengketaan, kemudian pengertian itu
diperluas oleh para ahli atau mujtahid dalam mendapatkan hukum.
Berdasarkan kenyataan sejarah perkembangan ilmu,
pengertian ijtihad menurut ahli ushul selalu berkembang. Apabila definisi yang
lain dihubungkan sampai pada pengertian yang memadai dalam pengertian yang
sempurna, inipun masih terbatas pada masalah hukum saja dan ini sesuai dengan
apa yang disebut hadis di atas. Perkembangan pengertian ijtihad menuju pada
pengertian yang lebih sempurna, antara lain dapat diikuti sebagai berikut:
a. Menurut Iman Al-Baidhawiy (w. 483 H).
“Ijtihad ialah mencurahkan kesungguhan atau kesanggupan dalam mendapatkan
hukum-hukum syara’”.
b. Menurut Al-Amidy (w. 631 H). “Ijtihad
ialah mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syara’ yang
sifatnya dzanniy, dimana diri mujtahid merasa tidak mampu lagi untuk menambah
kekuatannya lagi”.
c. Menurut An-Nasafiy (w. 710 H). “Ijtihad
ialah mencurahkan segenap kesungguhan atau kemampuan dalam mendapatkan hukum
syara’ dengan suatu metode”.
d. Menurut Ibnul Humam (wafat tahun 861 H).
“Ijtihad ialah mencurahkan segenap kemampuan oleh para ahli hukum Islam dalam
hukum syara’ yang bersifat zhanniy”.[25]
Pengertian ijtihad adalah mengerahkan segala daya
upaya untuk mengetahui hokum syar’i. Maka seorang mujtahid wajib mengerahkan
segala daya upayanya untuk mengetahui kebenaran kemudian menetapkan hkum sesuai
dengan yang dia ketahui. Jika ijthadnya benar, dia mendapat dua pahala : pahala
ijtihadnya dan pahala menepati kebenaran. Hal ini karena pada saat menpati
kebenaran, ia menampkakkan kebenaran tersebut dan mengamalakannya. Sebaliknya,
jika ijtihannya salah, ia mendapat satu pahala dan kesalahannya diampuni. Hal
ini berdasarkan hadist Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
“Jika seorang hakim memutuskan hokum dengan
berijtihad lalu ijtihadnya benar, ia mendapat dua pahala dan jika menetapkan
hokum dengan ijtihadnya lalu ijtihadnnya salah, ia mendapat dua pahala”[26]
Adapun jika seorang mujtahid belum mengetahui hokum
sesuatu yang dicarinya, dia wajib diam dan dalam kondisi seperti itu ia boleh
melakukan taqlid karena kondisi darurat.[27]
Ijtihad
mempunyai beberapa syarat berikut :
1. Mengetahui dalil-dalil syar’i yang
dibutuhkan dalam ijtihadnya seperti ayat-ayat dan hadist-hadist ahkam
2. Mengetahui hal-hal yang berhubungan
dengan shahih atau dhoifnya suatu hadist, seperti mengetahui isnad, rijal (para
perawi hadist) dan selainnya
3. Mengetahui nasikh dan mansuk dan
perkara-perkara yang sudah menjadi ijma, sehingga tidak menetapkan hokum
sesuatu yang sudah di mansukh atau menyelisihi ijma’.
4. Mengetahui dalil-dalil yang menyebabkan
suatu hokum menjadi berbeda, seperti takhshih atau taqyid atau sejenisnya
sehingga ia tidak menetapkan hukum yang menyelisihi hal itu.
5. Mengetahui bahasa arab dan ushul fiqh
yang berhubungan dengan hal-hal yang ditunjukkan (dalalah) dari lafal-lafal,
seperti am dank hash, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan dan sejenisnya
agar ia dapat menetapkan hokum sesuai dengan yang dikehendaki oleh dalalah
tersebut.
6. Mempunyai kemampuan untuk beristimbath
(mengeluarkan) hokum-hukum dari dalilnya. [28]
Dilihat
dari sudut pandang seiomatika, sebagian besar syariah atau perintah-perintah
Tuhan mengandung konvensi atau kode-kode, serta sepesangkat tanda dan cara
pengungkapan tertentu. Namun, konvensi tersebut dihasilkan berdasarkan
penafsiran sesuai dengan budaya dan kultur setempat. Dalam Islam ada tiga
sumber hukum, yaitu al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad. Jika dari sumber pertama tanda
belum memperlihatkan kode dan makna yang eksplisit, maka makna dan kode
tersebut harus dicari pada Sunnah Nabi. Dan jika tidak ditemukan pada keduanya,
maka makna dan kode bisa dilakukan dengan berijtihad (sesuai dengan hadist
Mu’adh bin Jabal), yaitu dengan melakukan pembongkaran dan dekonstruksi guna
menemukan kode-kode tertentu sesuai dengan budaya yang ada demi kemaslahatan
hidup manusia.
Namun
yang perlu diingat, bahwa ijtihad di sini sangat bergantung pada sepesangkat
tanda tak eksplisit dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sehingga hasil penafsiran
dan pemahaman tersebut tidak menerobos dan menundukkan kedudukan pesan dan
makna yang bersifat transenden dan ideologis.
Karena itu, pemahaman
baru terhadap al-Qur’an dan sunnah bukan berarti mereduksi, tetapi membuktikan
sejauh mana al-Qur’an dan as sunnah mampu berdialog dengan realitas. Teks,
selayaknya dimaknai kembali secara komprehensif, inklusif dan substantif untuk
menghindari pemahaman yang parsial, eksklusif dan formalistik. Dengan begitu,
Islam yang diyakini sebagai agama Sālih lī kull zamān wa makān dan
membawa misi rahmah li al-‘alamīn bukan saja menjadi retorika,melainkan
sebuah kenyataan.
[3] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi,, h. 12. Ahmad Muhtar Umar, Ilmu
al-Dilalah, (Cet. III; Cairo: Alam al-Kutub, 1992), h. 14
[8] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis(Jakarta:Gramedia,
2001), 180
[9] Kris Budiman, Semiotika Visual, 42
[10] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies
Atas Matinya Makna, 261
[11] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika,
262.
[12] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Cet II: Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004. H. 39
[13] Winfried NOTH, Semiotik, Cet I; Surabaya : Airlangga
University Press, 2006. h,39, Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, Mengungkao hakikat bahsa, makna, tanda (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004) h. 130
[14] Winfried NOTH, Semiotik, h. 45
[15] Winfried NOTH, Semiotik,h. 44,
[16] Winfried NOTH, Semiotik, h. 74
[17]. Winfried NOTH, Semiotik, h.64
[18] Winfried NOTH, Semiotik, h.63
[19] Winfried NOTH, Semiotik
[20] Winfried NOTH, h.314
[21] Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik
Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 97.
[22] Yasraf Amir Piliang. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas
Matinya Makna. Yokyakarta. Jalasutra. 2003
[23]
Johan Meuleman, “Sumbangan dan Batas Semiotika dalam Ilmu Agama”, dalam Tradisi,
Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammed Arkoun,
ed. Johan Hendrik Meuleman (Yogyakarta: LKiS, 1996), 35
[26] HR. Muttafaqun Alaih
[27] Muhammad bin Shalih
Al Utsaimin. Ushul Fiqih. Jogjakarta. 2008. Media Hidayah
Kesimpulan
1. Seiomatika adalah ilmu tentang
tanda-tanda. Ilmu yang menganggap bahwa fenomena social atau masyarakat dan
kebudayaannya merupakan tanda-tanda.
2. Terdapat beberapa tokoh yang berpengaruh
dalam seiomatika dan dengan pokok pemikirannya yaitu :
a. Pragmatisme oleh Charles sanders pierce
b. Teori tanda Ferdinand de Saussure
c. Linguistik Struktural Roman Jacobson
d. Metaseiomatika Louis Hjelmslev
e. Semiologi dan mitologi Roland Barthesp
Pesan filsafat seiomatika
menafsir sistem tanda dalam pesan-pesan teks keagamaan memiliki kontribusi, hal
ini karena sebagian besar syariah atau perintah-perintah Tuhan mengandung
konvensi atau kode-kode, serta seperangkat tanda dan cara pengungkapan
tertentu. Namun, konvensi tersebut dihasilkan berdasarkan penafsiran sesuai
dengan budaya dan kultur setempat. Dalam Islam ada tiga sumber hukum, yaitu
al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad. Jika dari sumber pertama tanda belum
memperlihatkan kode dan makna yang eksplisit, maka makna dan kode tersebut
harus dicari pada Sunnah Nabi. Dan jika tidak ditemukan pada keduanya, maka
makna dan kode bisa dilakukan dengan berijtihad (sesuai dengan hadist Mu’adh
bin Jabal), yaitu dengan melakukan pembongkaran dan dekonstruksi guna menemukan
kode-kode tertentu sesuai dengan budaya yang ada demi kemaslahatan hidup
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar