Berbicara mengenai Filsafat Ilmu, pasti tidak akan terlepas dari bahasan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Ketiganya merupakan tiga cabang besar dari filsafat. Ontologi atau teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri. Membicarakan apa sebenarnya dari sesuatu. Epistemologi atau teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh suatu pengetahuan. Bagaimana kita memperoleh suatu pengetahuan. Sedangkan yang terakhir, Aksiologi atau teori nilai membicarakan apa manfaat atau guna dari pengetahuan yang sebelumnya telah kita ketahui hakikat dan cara memperolehnya.[1]
Aspek
kedua dari ketiga cabang filsafat tersebut, yakni Epistemologi dalam rumusan
lain disebutkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, asal mula pengetahuan,
batas-batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh karena itu sistematika
epistemologi adalah terjadinya pengetahuan, teori kebanaran, metode-metode
ilmiah, dan aliran-aliran teori pengetahuan.[2]
Sejarah
tentang peerkembangan Ilmu merupakan sebuah prestasi pencapaian sebuah
kesuksesan. Karena dengan itu manusia mulai terlepas dari belenggu-belenggu
pemikirab yang berasaskan pada pemikiran kebodohan dan takhayul. Asal usul
permulaan munculnya ilmu pengetahuan sangat erat kaitanya dengan sifat
asli fitrahmanusia yang memiliki sifat selalu ingin tahu dan
berfikir untuk menemukan sebuah kebenaran namun tetap berpegang pada
nilai-nilai kebijaksanaan, atau yang sering dusebut dengan berfikit filosofi.
Perjalanan
ilmu pengetahuan dari masa ke masa sehingga sampai pada tahap ilmu modern
seperti sekarang ini ternyata tidak semulus yang kita kira. Banyak perdebatan,
perbedaan pendapat serta penyelisihan yang diakibatkan paham filosof
masing-masing yang dianut oleh para ilmuan pada masa itu. Khusunya di abad
ke-19 terdapat tentang adanya pembedaan-pembedaan antara ilmu, industri dan
filsafat, dan tiga atau empat abad sebelumya. Para sejarahwan menemukan bahwa
study terhadap alam dilaksanakan dalam suatu kerangka asumsi-asumsi tentang
dunia atau berdasarkan pada kepercayaan dan tahayul. Namun seiring dengan
munculnya sifat berfikir filosofi pemikran tersebut lambat lain semakin
ditinggalkan dan diganti dengan sikap ilmiah denga hasil yang faktual serta
didukung dengan data-data yang empiris.
Dalam
kajian Epistemologi terdapat banyak bagian-bagian yang masing-masing sebagai
rancang bangun, yang kemudian membentuk sebuah disiplin ilmu secara otonom.
Salah satunya adalah Epistemologi Irfani, yang dikatakan merupakan salah satu
cabang dari ilmu filsafat islam, seperti halnya Burhani dan Bayani. Namun
ketika pembahasan berlanjut ke ranah ilmu pengetahuan secara umum, maka tentu
Epistemologi Irfani juga mempunyai andil di dalamnya.
Mungkin Epistemologi Irfani dianggap merupakan
bagian kecil dari cabang filsafat keseluruhan. Namun dalam pembahasannya akan
ditemukan fenomena-fenomena menarik yang justru dapat sebagai awal dari
ideology selanjutnya.
A.
Pengertian
Secara etimologis,
kata Irfani berasal dari bahsa arab adalah bentuk mashdar(infinitif)
dari kata ‘arafa yang
berarti tahu/mengetahui.Seakar pula dengan kataMa’ruf (Keba-jikan)
dan Ma’rifat (pengetahuan).[1]
Kata Irfan berasal dari akar kata yang
sama dalam bahasa Arab, secara etimologi, Irfani berasaldari bentuk masdar
(infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu atau mengetahui.[2] Seakar kata pula dengan ma’ruf (kebajikan) dan
ma’rifat (pengetahuan)
Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham.
Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah
sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu
pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian.
Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu memperoleh
pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai yang
menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
Ada
beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama,
Epistemologi irfani adalah cara memperoleh pengetahuan yang didasarkan
pada kasyf, yaitu, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh
Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani.
Kedua, epistemologi
Irfani adalah cara memperoleh pengetahuan dengan mengandalkan
pengalaman batin.
Ketiga, ada
juga yang mengatakan epistimologi adalah cara memperoleh pengetahuan yang lebih
dekat dengan intuisi, namun intuisi yang dekat dengan spiritual
Adapun tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani
ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan. Berangkat dari
pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih
bersumber pada intuisi dan bukannya teks. Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam
tradisi berfikir dan berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman).
Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran
yang tak ternilai harganya.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara
langsung oleh seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama
yang dipeluknya, tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan
bahasa maupun logika. Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya
dapat dirasakan dan dihayati secara langsung, intuisi,al-dzauq atau
perasaan.
Sekat-sekat formalitas lahiriyyah yang diciptakan
oleh tradisi epistemologi bayani dan burhani baik
dalam bentuk bahasa, agama, ras, etnik, kulit, golongan, kultur, tradisi, yang
ikut andil merenggangkan dan mengambil jarak hubungan interpresonal antar umat
manusia, ingin dipinggirkan oleh tradisi berpikir Irfani yang
kebanyakan dilakukan oleh golongan kaum sufi.
B.
Konsep
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks
seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio sepertihalnya burhani,
tetapi pada kasyf, ter-singkapnya rahasia-rahasia realitas oleh
Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf.[3] Karena itu, pengetahuan irfani
tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana
dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung
kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain
secara logis. Dengan demikian pe-ngetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui
tiga tahapan;[4]
1. Persiapan
Dalam
epistemologi irfani, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf),
seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada
tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh
tahapan itu adalah:
a.
Taubat, yakni meninggalkan segala
perbuatan yang kurang baik disertai dengan penyesalan yang mendalam yang kemudian
diganti dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.
b. Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas
statunya . apakah sesuatu tersebut halal atau haram (subhât),
c.
Zuhud yakni tidak tamak dan tidak
mengutamakan kehidupan dunia,
d. Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan
masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki apapun kecuali
Tuhan swt.
e.
Sabar, yakni menerima segala bencana
dengan laku sopan dan rela namun tidak berarti diam.
f.
Tawakkal, yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa
yang ditentukan oleh tuhan.
g. Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa
hanya gembira dan suka cita).
2. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini
seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf),
sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah)
sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang
disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan
eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran
yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi
disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object
knowledge).[5]
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui
John S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education,
bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious),
yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran
yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham).
Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi
harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena
itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.[6]
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering
disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan
yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan
merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan
hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan
maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari
Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi
yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi,
sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.[7]
3. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan
diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena
penge-tahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi
terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri
dalam Tuhan,[8] sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak
semua pengalaman ini bisa diungkapkan.[9] Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
“Pengetahuan tentang kebenaran tidak
dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi.
Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan.
Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan
untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal
secara sepakat”.[10]
Kemudian beberapa cara pengungkapan
makna atau dimensi batin yang diperoleh dari hasil kasyf
tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani.
Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang
ada dalam teks. Kedua,
diungkapkan lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân)
karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan
pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar
kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif
yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis
maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan
dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara
umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun
dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan syarat
bahwa syathahâttersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus
terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak
boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang
ada.
Metode analogi seperti diatas, menurut
al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat
esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun,
dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan
atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri,
dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan
berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini
merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut
untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani
yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya
kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya
hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi
apapun terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, irfani islam sama sekali
berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani
lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara
mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat
positifistik
[1]Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan
Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Usaha Nasional, Surabaya : 1984), h.
34.
[2]A.W. Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia
Terlengkap, (Pustaka Progresif, Surabaya : 1997) hal. 28.
[5]Al Qusyari, Op. Cit. hal 75
[6]Burhanuddin Salam, Logika Materil,
Filsafat Ilmu Pengetahuan (Rineka Cipta, jakarta: 1997).hal.58
[7]Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali,
(terj johan Smit, Anas, Yusuf) (Pustaka, Bandung:1981)hal. 67
[8]Mohammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, (Lesfi,
Yogyakarta :2002) hal. 41
Kesimpulan
Epistemologi
Irfani merupakan sebuah cabang ilmu filsafat yang kemudian membentuk disiplin
ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang
berarti tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu,
pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah
ruhani, yang setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan; Persiapan, Penerimaan
(ilham), dan Pengungkapan. Ungkapan-ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran
secara irfani sering kali menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar
saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam,
sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis
tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir dalam Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak
Thales Sampai Capra, (Remaja Rosdakarya : Bandung 2009)
Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (terj
johan Smit, Anas, Yusuf) (Pustaka, Bandung:1981)
A.W. Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Pustaka Progresif, Surabaya : 1997)
Burhanuddin Salam, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Rineka
Cipta, jakarta: 1997)
Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar,(Jakarta
: Rineka Cipta,2008)
Mohammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa,
(Lesfi, Yogyakarta :2002)
Mehdi Hairi. Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad,
(Bandung, Mizan: 1994)
Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila, (Usaha Nasional, Surabaya : 1984)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar